Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan membantah BUMN tersebut merugi akibat kebijakannya terkait dengan pengadaan liquified natural gas (LNG). Dia juga membantah bahwa gas alam cair tersebut tidak terserap hingga menyebabkan oversupply.
Karen menyampaikan bantahan tersebut usai dicecar sebanyak 25 pertanyaan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Kamis (5/10/2023). Dia merupakan satu-satunya tersangka kasus LNG yang sejauh ini ditetapkan oleh KPK.
Sebelumnya, KPK memaparkan seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Corpus Christi Liquefaction, LLC atau CCL, tidak terserap di pasar domestik. Konsekuensinya, kargo LNG itu menjadi oversupply dan tidak pernah masuk wilayah Indonesia.
"Kalau dibilang oversupply, bisa lihat Rencana Umum Energi Nasional itu terkait energi bauran primer. Di sana di tahun 2022 disampaikan bahwa gas harus 22,5 persen. Saat ini, Maret 2023 baru mencapai 15,7 persen. Artinya kalau realisasi masih rendah dari perencanaan, kita bukan oversupply, tetapi defisit," ujarnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Selain itu, Karen mengeklaim Pertamina justru meraih untung dari kerja sama pengadaan LNG dengan CCL. Dia mempertanyakan mengapa KPK hanya mengusut dugaan kerugian dari 2011 hingga 2021 saja, kendati kontrak diteken untuk sampai dengan 2040.
Karen juga menyampaikan bahwa kebijakan pengadaan gas alam cair hasil kerja sama dengan CCL bukan merupakan kebijakannya secara pribadi saat memimpin Pertamina. Dia menyebut kebijakan pengadaan LNG itu sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan dikaji terlebih dahulu oleh external advisor maupun tim internal Pertamina.
Baca Juga
"Jadi saya juga sudah memberikan statement bahwa tidak ada kebijakan yang saya lakukan secara pribadi, keputusan saya pribadi, semua itu kolektif kolegial dan aksi korporasi menjalankan perintah jabatan sesuai dengan perpres dan inpres," lanjutnya.
Sebelumnya, KPK mengungkap dugaan bahwa pengadaan LNG antara Pertamina dan CCL tidak diinformasikan dengan jajaran komisaris perseroan yang di antaranya meliputi pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.
Kebutuhan LNG tersebut guna memasok kebutuhan untuk pembangkit listrik gas milik BUMN lain di Indonesia, yakni PT PLN (Persero). Sementara itu, kontrak yang diteken antara Pertamina dan CCL untuk pengadaan LNG itu justru dengan menerapkan harga tetap (flat rate), bukan dengan mengikuti harga pasar.
"Tetapi ternyata kemudian, perjanjian dengan PLN itu kemudian hanya beberapa tahun karena ada perubahan perjanjian sehingga [Pertamina] sudah membeli banyak nih suplai [dari CCL]. Akhirnya tidak ada kan pasarnya. Begitu, jadi tidak diperhitungkan terkait dengan pasar," terang Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Asep lalu mengungkap bahwa beberapa waktu lalu tim dari KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berkunjung ke AS untuk pencarian bukti-bukti kasus LNG di perusahaan yang berada di pusaran dugaan rasuah itu, yakni ke CCL dan Blackstone.
Keikutsertaan BPK pada kegiatan pencarian bukti itu lantaran adanya dugaan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,1 triliun pada kasus LNG Pertamina itu. Dari kunjungan tersebut, KPK mencari dokumen-dokumen terkait dengan transaksi jual-beli LNG antara Pertamina dan dua perusahaan di AS itu.
"Memang trading-nya [Pertamina] dengan perusahaan yang ada di Amerika sehingga kita ingin lihat seperti apakah dokumen-dokumen terkait tradingnya tersebut. Mulai dari kapan adanya transaksinya, seperti apa transaksinya berapa nilai besarannya pada saat transaksi kemudian seperti apa klausulnya di kontrak mereka," terangnya.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) masih enggan memerinci terkait dengan kebijakan pengadaan LNG dengan CCL yang awalnya diprakarsai oleh Karen Agustiawan. Namun demikian, BUMN migas itu menyatakan bakal menghormati proses hukum yang berjalan saat ini.
"Saat ini kita hormati dulu proses hukum yang sedang berjalan di KPK ya," VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso saat dihubungi Bisnis, Kamis (5/10/2023).