Bisnis.com, JAKARTA - Pakar hukum menilai maraknya platform digital securities crowdfunding (SCF) atau layanan urun dana dengan skema patungan di industri pasar modal Indonesia belum didukung dengan regulasi yang solid.
Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) Surakarta Yudho Taruno Muryanto mencontohkan adanya inkonsistensi regulasi layanan investasi, masih tumpang tindihnya klusterisasi jenis dan instrumen investasi, serta persoalaan tanggungjawab pengelolaan investasi dalam pemenuhan prinsip keterbukaan.
Menurutnya, inkonsistensi pengaturan di bidang investasi menimbulkan dualisme peran OJK. Di satu sisi, OJK mempunyai tugas pengaturan, pengawasan dan berwenang menetapkan suatu lembaga hukum/hubungan hukum masuk ke dalam kualifikasi sektor jasa keuangan dalam hal ini di bidang pasar modal.
Namun, di sisi lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) menyatakan kegiatan layanan SCF tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari penawaran umum (pasar modal).
"Regulasi seperti ini harus diperjelas dan dipertegas,” katanya dalam siaran pers, Senin (25/9/2023).
Dia menjelaskan hubungan hukum para pihak yang terlibat dalam transaksi SCF diatur dalam POJK No. 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi.
Baca Juga
Regulasi tersebut sudah di revisi menjadi POJK No 16 /POJK.04/2021. Sesuai POJK dalam SCF terdapat sejumlah pihak yang terlibat.
Pertama, penyelenggara atau pemilik platform yang berperan untuk melakukan reviu atas usaha dan prospek usaha yang dimiliki oleh penerbit. Kedua, penerbit efek (instrumen surat berharga seperti saham, obligasi dan sejenisnya) yang merupakan pemilik usaha dan penerima modal. Ketiga, pemodal atau investor yang akan membeli efek yang diterbitkan oleh penerbit.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Agustus 2023 terdapat sebanyak 16 platform SCF yang telah mengantongi ijin OJK dan menghimpun dana sebesar Rp951,20 miliar. Total pelaku usaha yang terlibat dalam platform tersebut sebanyak 439 penerbit dengan jumlah pemodal mencapai 159.408 pihak.
Dia berharap dengan bisnis yang bertumbuh makin solid, para penerbit dapat menjangkau akses modal yang lebih besar dengan melakukan initial public offering atau IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Efek yang diterbitkan oleh penerbit juga dipublikasikan di platform SCF seperti layaknya di BEI. Bedanya jumlah pemodal dan likuiditas efeknya masih terbatas.
Pelaku usaha yang ikut dalam program SCF harus didorong untuk bisa IPO di pasar saham atau menerbitkan surat utang di BEI seperti emiten yang sudah go publik lainnya.
Adapun, Yudho telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Korporasi dan Investasi ke-287 UNS. Prefesor hukum kelahiran Ngawi, Jawa Timur ini menyelesaikan studi program magister (S2) hukum dan doktoral (S3) di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.