Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkap adanya potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp523 miliar per bulan akibat bantuan sosial (bansos) yang tidak diterima sesuai dengan sasaran.
Nilai potensi kerugian keuangan negara itu ditemukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) berdasarkan data per Agustus 2023. Data tersebut berasal dari hasil pemadanan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang bersumber dari seluruh pemerintah daerah (pemda).
"Jadi kalau dihitung data ini per Agustus pencapaian bersama, kami dengan daerah kemudian di-share dengan data lembaga-lembaga tadi ada ASN [BKN], ada BPJS Ketenagakerjaan, jumlahnya adalah yang dinyatakan tidak layak oleh daerah itu potensi kerugian negaranya Rp523 miliar," ujarnya pada acara "Utilitas NIK untuk Perbaikan Tata Kelola Penyaluran Bansos" yang diselenggarakan oleh Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Selasa (5/9/2023).
Risma menceritakan bahwa temuan potensi kerugian negara itu berasal dari upaya kementeriannya pada 2022, untuk melakukan pemadanan DTKS dengan data-data dari lembaga lain. Misalnya, dengan data di Badan Kepegawaian Negara (BKN), data BPJS Ketenagakerjaan, serta data di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Upaya itu, lanjutnya, bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2022 yang menunjukkan adanya PNS yang menerima bansos. BPK juga disebut menemukan penerimaan bansos oleh jajaran pengurus perusahaan atau pemilik badan hukum yang terdata di Ditjen AHU Kemenkumham.
Tidak hanya itu, Kemensos juga menemukan adanya penerima bantuan pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan, yang juga terdaftar sebagai penerima BPJS Ketenagakerjaan. Artinya, para penerima bantuan itu sebenarnya merupakan orang yang memiliki pendapatan gaji di atas upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Baca Juga
"Dia sudah membayar atau dibayar perusahaan untuk jaminan kesehatannya, namun itu masuk juga dalam jaminan kesehatan PBI yang dibayar oleh pemerintah. Jadi artinya, ada duplikasi untuk jaminan kesehatan," lanjut Risma.
Oleh karena itu, Mantan Wali Kota Surabaya tersebut menduga masih banyaknya penerima bansos yang tidak sesuai dengan target penerima manfaat. Dengan demikian, dia berharap agar pemerintah daerah segera mengecek kembali dan memperbaiki data penerima bansos tersebut.
"Mohon kami juga Bapak Ibu Kepala Daerah dan Dinas Sosial, tolong diperiksa itu kenapa? Kami sudah kembalikan [data yang tidak sesuai] ke daerah, kenapa ini menjadi penting? Karena itu juga bagian dari menjaga integritas dari bantuan sosial yang kita lakukan," tuturnya.
Temuan BPK
Sebelumnya, BPK mencatat adanya temuan penyaluran bantuan sosial tidak tepat sasaran sebesar Rp185,23 miliar. Hal tersebut berdasarkan Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2022, terkait dengan penetapan dan penyaluran bantuan sosial berupa Program Sembako, BLT minyak goreng (Migor), dan/atau BLT BBM tidak sesuai ketentuan.
Temuan BPK itu menguak di antaranya penetapan dan penyaluran bantuan kepada ASN, pendamping sosial, tenaga kerja dengan upah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Selain itu, penerima bantuan juga terindikasi meninggal dunia, memiliki jabatan/usaha terdaftar di database Administrasi Hukum Umum (AHU), dan terindikasi menerima bantuan ganda.
BPK memberikan rekomendasi kepada Menteri Sosial agar melalui Dirjen yang menangani bansos Program Sembako, PKH, serta BLT Migor dan BLT BBM untuk memerintahkan PPK terkait supaya lebih cermat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan.
Auditor negara juga merekomendasikan agar direktur terkait untuk menyusun SOP yang mengatur mekanisme feedback data penyaluran, serta Direktur dan PPK berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan verifikasi dan validasi kelayakan data KPM bansos yang terindikasi bermasalah.