Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan untuk memeriksa mantan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di lingkungan Kemenaker.
Seperti diketahui, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu merupakan Menaker era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat selama periode 2009-2014.
KPK menyebut bahwa penyidikan kasus di lingkungan Kemenaker itu berawal dari laporan masyarakat terkait dengan dugaan korupsi yang terjadi pada sekitar 2012, ketika Muhaimin atau Cak Imin menduduki kursi menteri.
"Semua pejabat di tempus itu dimungkinkan kita minta keterangan. Kenapa? Karena kita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya jangan sampai ada secara pihak si A menuduh si B, si C menuduh si B lalu si B tidak kita mintai keterangan kan itu janggal," kata Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan, dikutip Sabtu (2/9/2023).
Kendati tak menyebut nama Cak Imin secata spesifik, Asep memastikan bakal memeriksa berbagai saksi termasuk pejabat terkait pada saat periode dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
Laporan yang diterima KPK, terang Asep, menjadi dasar untuk berbagai kegiatan pengumpulan bukti yang telah dilakukan lembaga antirasuah, termasuk meminta keterangan para saksi dan melakukan penggeledahan di berbagai tempat.
Baca Juga
"Jadi kita dapat laporan dan laporan itu ditindaklanjuti kemudian disesuaikan dengan tempusnya kapan. Kalau kejadiannya tahun itu ya siapa yang menjabat di tahun itu," tutur Asep.
Adapun Jenderal Polisi bintang satu itu mengindikasikan adanya dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut. Nilai kerugian keuangan negara yang diduga pada kasus tersebut tengah didalami oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sebelumnya menyebut dugaan korupsi yang terjadi di lingkungan Kemnaker itu terkait dengan pengadaan perangkat lunak atau software proteksi TKI di luar negeri.
Pimpinan KPK itu menduga software tersebut dibeli dengan uang negara, namun tidak berfungsi. Nilai kontrak pengadaannya disebut mencapai Rp20 miliar.
"[Nilai kontranya] Rp20 miliar sekitaran itu," kata Alex kepada wartawan di Gedung KPK, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, kini KPK telah mengajukan pencegahan kepada tiga orang yang diduga merupakan tersangka dalam kasus tersebut, kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Pencegahan terhadap tiga orang tersebut berlaku untuk enam bulan ke depan sampai dengan Februari 2024 dan perpanjangan yang kedua dapat dilakukan sesuai kebutuhan Tim Penyidik.