Bisnis.com, JAKARTA -- Dinamika baru koalisi partai politik menuju Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 makin menarik setelah keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar mengusung Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Partai Golkar dan PAN memutuskan mengusung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai capres dalam deklarasi bersama yang berlangsung di Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada Minggu (13/8/2023).
Langkah Golkar dan PAN ini menyusul sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sudah jauh-jauh hari membangun koalisi bersama Gerindra dengan nama koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Sebelumnya, Golkar dan PAN membangun komunikasi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membentuk koalisi Indonesia Bersatu.
Koalisi itu bubar dengan sendirinya setelah deklarasi PAN dan Golkar yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, sedangkan PPP memilih bergabung dengan PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo.
Bagi PAN, keputusan mendukung Prabowo sebagai capres seolah melanjutkan tradisi yang sudah dijalankan sejak 2014. Partai berlambang matahari terbit itu konsisten mengusung Prabowo dalam Pilpres 2014, Pilpres 2019, dan menuju Pilpres 2024.
Baca Juga
Langkah PAN juga mengakhiri kalkulasi yang sempat disusun untuk melahirkan poros keempat dengan mengusung kandidat presiden bersama dengan Partai Golkar.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno sempat menyatakan bahwa PAN membuka peluang untuk membentuk poros baru dengan mengusung Ketua Umum Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk dipasangkan sebagai capres-cawapres.
Pilihan PAN, termasuk Golkar untuk mencalonkan Prabowo sebagai kandidat presiden tentu berdasarkan kalkulasi realistis. Kedua parpol itu mempertimbangkan elektabilitas Prabowo yang saat ini terus menguat dalam berbagai survei publik.
Apalagi, Prabowo sudah malang melintang mengikuti kontestasi Pilpres. Di antara sosok tiga capres dengan elektabilitas tertinggi selain Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Prabowo menjadi satu-satunya tokoh yang sudah bertarung di tiga Pilpres.
Prabowo tercatat pernah bertarung di Pilpres 2009 saat menerima pinangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, lalu Pilpres 2014 sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Pilpres 2019 menggandeng Sandiaga S. Uno.
Nama Prabowo juga tak pernah terlempar dari daftar teratas kandidat Presiden sejak 2009, meski nama-nama kandidat baru silih berganti.
Perjalanan menuju Pilpres 2024 cenderung tidak seriuh Pilpres 2014. Sejauh ini, belum ada tokoh politik yang popularitasnya benar-benar kuat seperti halnya Jokowi ketika pertama kali muncul, baik saat menuju Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 maupun Pilpres 2014.
Nama Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) yang diusung sebagai capres oleh PDI Perjuangan dan digambarkan sebagai penerus Jokowi, tidak banyak memunculkan gerakan publik dan melahirkan euforia seperti halnya ketika rakyat menyambut Jokowi.
Sampai saat ini, basis pemilih Jokowi yang mendukungnya di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, belum sepenuhnya bulat memberikan suara kepada Ganjar Pranowo.
Pilihan Jokowi lovers terbelah, antara mendukung Ganjar atau memilih Prabowo, rival Jokowi di dua pilpres terakhir.
Jika bicara basis suara pemilih di Pilpres, Prabowo praktis memiliki modal yang sudah sangat terukur. Dalam dua pilpres terakhir, pilihan masyarakat kepada Prabowo cukup solid.
Pada Pilpres 2014, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mengantongi 62 juta suara pemilih. Lalu, pada Pilpres 2019, suara Prabowo yang bergandengan dengan Sandiaga S. Uno memperoleh dukungan sebanyak 68 juta.
Dengan kata lain, modal suara Prabowo sangat terjaga. Setidaknya, apabila Prabowo lancar menuju Pilpres 2024, sekitar 50 juta—60 juta suara pemilih sudah masuk ke kantongnya.
Tantangannya, seberapa mampu Prabowo dan koalisinya meyakinkan publik untuk mendapatkan tambahan suara baru.
Satu-satunya wajah baru di koalisi Prabowo menuju Pilpres 2024 adalah PKB pimpinan Muhaimin Iskandar. Dalam dua Pilpres sebelumnya, PKB mengusung Joko Widodo sebagai capres dan mampu memenangi kontestasi.
PKB yang sejak awal berkoalisi dengan Gerindra percaya diri bahwa Prabowo akan meminang Muhaimin Iskandar sebagai pendamping. Satu sisi, PKB masih membuka peluang koalisi dengan parpol lain termasuk berkomunikasi dengan partai penguasa, PDI Perjuangan.
PKB secara elektoral memang cukup diperhitungkan untuk menambah tumpukan suara. Pada Pemilu 2019, PKB meraih sekitar 13,5 juta suara, menempati peringkat keempat peraih suara tertinggi.
Persoalannya, Muhamin Iskandar tidak cukup populer di mata pemilih untuk dipilih sebagai capres maupun cawapres meski beragam manuver sudah dilakukannya.
Indikator Politik Indonesia dalam survei elektabilitas capres-cawapres yang dirilis pada Juni 2023, mencatat tingkat keterpilihan (elektabilitas) Gus Ami—panggilan Muhaimin Iskandar— hanya 0,6 persen. Sosok Muhaimin bahkan kalah populer dibandingkan dengan tokoh Nahdliyin lainnya seperti Mahfud Md (11,8 persen) dan Khofifah Indar Parawansa (2,5 persen).
Nasib Golkar
Patut dinanti pula pascadeklarasi dukungan kepada Prabowo, adalah nasib Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar ke depan.
Pilihan politik Partai Golkar yang mendukung Prabowo muncul di saat situasi internal partai berlambang beringin itu sedang bergejolak.
Golkar seperti mengulang lagi sejarah ‘perpecahan’ internal menjelang Pemilu.
Pada pemilu 2004, misalnya Golkar yang saat itu megusung kandidat presiden pemenang konvensi yakni Wiranto dan Sholahuddin Wahid, tak dapat bersaing dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla yang juga tokoh berpengaruh di Partai Golkar saat itu, akhirnya terpilih sebagai ketua umum menggantikan Akbar Tandjung.
Demikian halnya dengan Pilpres 2014. Saat itu, Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie menjatuhkan dukungan kepada Prabowo Subianto. Di satu sisi, Jusuf Kalla digandeng oleh Joko Widodo sebagai cawapres dan memenangi Pilpres 2014.
Pada masa-masa pemerintahan Jokowi-Kalla pada 2014—2019, dinamika di Golkar sempat panas. Muncul dualisme kepemimpinan di Golkar antara pimpinan kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono.
Selepas dualisme, Golkar dipimpin oleh Setya Novanto. Namun, posisi Setya Novanto di Golkar juga tak berjalan mulus karena dirinya terjerat kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua DPR.
Golkar lebih stabil di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto. Bahkan, keputusan untuk mendukung Prabowo sebagai capres, memang tak lepas dari adanya tekanan internal supaya partai itu segera menentukan arah koalisi dan dukungan terhadap capres.
Padahal, putusan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada 2019, menetapkan Airlangga Hartarto sebagai capres 2024 dari partai itu.
Akan tetapi, Golkar terlihat realistis dengan posisi ketua umumnya yang tak memiliki elektabilitas tinggi untuk menyaingi Ganjar, Prabowo, maupun Anies.
Dalam survei Indikator Politik, elektabilitas Airlangga hanya 0,7 persen sebagai capres. Dengan berbagai manuver yang mulai dilakukan oleh tokoh-tokoh Golkar, dinamika internal di partai kuning itu memang bakal menarik perhatian.
Berkaca pada pemilu 2014, banyak tokoh berpengaruh di Golkar yang saat itu memilih bergabung dengan Jokowi-JK ketimbang mendukung putusan politik Golkar.