Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memutus PT Jakarta Propertindo (Jakpro) terlibat kongkalikong tender revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM). Kendati demikian, KPPU tidak memberikan denda terhadap Jakpro.
Ketua Majelis Komisi Chandra Setiawan memutuskan Jakpro (terlapor I), PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) (terlapor II), dan PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (JKON) (terlapor III) melanggar pasal 22 undang-undang nomor 5 tahun 1999 terkait pengadaan pekerjaan proyek revitalisasi pusat kesenian Jakarta TIM Tahap III.
Meskipun telah ditetapkan bersalah, Jakpro tidak dikenakan denda, BUMD DKI ini hanya dihimbau untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif dan segala bentuk persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender di masa yang akan datang sejak terlapor menerima pemberitahuan putusan KPPU.
“Himbauan selanjutnya, untuk meniadakan substansi dan klausul yang bermakna sama dengan dokumen Request for Proposal (RfP) perkara a quo, dalam setiap pengadaan yang diselenggarakan oleh terlapor sejak terlapor menerima pemberitahuan putusan KPPU,” ujar Chandra dalam keterangan resmi, Kamis (20/8/2023).
Adapun majelis hakim KPPU mewajibkan Jakpro melaporkan dan menyerahkan dokumen Request for Proposal (RfP) setiap selesai dilaksanakannya proses pengadaan yang diselenggarakan oleh terlapor I selama 2 tahun sejak terlapor menerima pemberitahuan putusan KPPU.
Berbeda dengan Jakpro, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp16,8 miliar kepada kepada Pembangunan Perumahan (Persero) (Terlapor II), serta sebesar Rp11,2 miliar kepada Jaya Konstruksi Manggala Pratama (Terlapor III).
Baca Juga
Sebagai informasi dalam proses persidangan, terungkap berbagai unsur bersekongkol yang dilaksanakan oleh para terlapor, antara lain tindakan Terlapor I yang melakukan pembatalan tender tanpa didasari oleh justifikasi yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, membuktikan pembatalan tender tersebut sengaja dilakukan oleh Terlapor I sebagai bentuk tindakan memfasilitasi Terlapor II dan Terlapor III (KSO) menjadi pemenang tender a quo.
Kemudian, tindakan Terlapor I memberikan kesempatan eksklusif kepada Terlapor II dan Terlapor III (KSO) dalam evaluasi teknis dengan adanya permintaan pemaparan Direktur SDM dan Umum terhadap hasil evaluasi teknis kepada Konsultan manajemen konstruksi, yang kemudian ditindaklanjuti dengan fakta adanya pembatalan tender dan perubahan tata cara penilaian pada tender ulang, membuktikan adanya bentuk eksklusivitas Terlapor I dalam memfasilitasi Terlapor II dan Terlapor III (KSO) menjadi pemenang tender a quo.
Hal tersebut dikuatkan dengan adanya perubahan tata cara penilaian, nilai evaluasi teknis yang diperoleh Terlapor II dan Terlapor III (KSO) dalam tender ulang meningkat cukup signifikan hingga memperoleh prosentase nilai evaluasi teknis yang cukup tinggi.
Adapun tindakan Terlapor II dan Terlapor III (KSO) melakukan penyesuaian dokumen baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Meskipun dalam fakta persidangan tidak ditemukan adanya bentuk komunikasi langsung antara Terlapor I dengan Terlapor II dan Terlapor III (KSO).
Namun demikian terdapat fakta rangkaian proses yang menunjukkan adanya upaya Terlapor I memfasilitasi Terlapor II dan Terlapor III (KSO) melalui tindakan Direktur SDM dan Umum yang melakukan intervensi terhadap tim pengadaan pada saat proses tender masih berjalan. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembatalan tender tanpa didasari justifikasi yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.