Bisnis.com, JAKARTA - "Titik kritis" iklim, seperti hilangnya hutan hujan Amazon atau hilangnya lapisan es Greenland, bisa terjadi dalam masa hidup manusia
Studi baru memperingatkan soal ekosistem bumi yang mungkin mengalami keruntuhan lebih cepat daripada yang diperkirakan oleh para ilmuwan.
Menurut penelitian, lebih dari seperlima titik kritis akan mencapai puncaknya pada 2038 dan berpotensi menyebabkan bencana ekologis global secara permanen.
Titik kritis merujuk pada titik di mana perubahan lingkungan mencapai ambang batas yang mengarah pada perubahan drastis yang tidak bisa dipulihkan lagi.
Seperti, mencairnya permafrost di Arktik, runtuhnya lapisan es Greenland, dan bagaimana tiba-tiba hutan hujan Amazon berubah menjadi sabana secara permanen.
Seorang profesor di Universitas Bangor di Inggris Simon Willcock mengatakan ketika suatu ekosistem mencapai titik kritis, maka upaya perbaikan atau pemulihan akan sangat sulit untuk dilakukan.
Baca Juga
Menurutnya, perlu tindakan yang lebih proaktif untuk melindungi dan memulihkan ekosistem yang terancam. Berbeda dengan penelitian yang sudah mapan soal hubungan pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan iklim.
Penelitian soal titik kritis sendiri masih jadi perdebatan, lantaran pemahaman ini perlu mempertimbangkan kompleksitas dan interaksi alam yang ada di dalamnya.
Bahkan, simulasi dan prediksi mengenai titik kritis dalam ekosistem dapat meleset jika mereka tidak mempertimbangkan elemen atau interaksi penting secara menyeluruh.
Hal ini seperti laporan terbaru milik Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang mengkaji ilmu iklim atas nama PBB yang menyatakan hutan hujan Amazon dapat mencapai titik kritis yang mengubahnya menjadi sabana pada 2100.
Namun, para peneliti di studi baru ini menyatakan prediksi tersebut terlalu optimis.
Mereka mengatakan sebagian besar studi titik kritis cenderung memusatkan perhatian pada satu penyebab utama keruntuhan, seperti deforestasi di hutan hujan Amazon.
Padahal, ekosistem tidak hanya bersaing dengan satu masalah. Padahal kenaikan suhu, degradasi tanah, polusi air, dan tekanan terhadap ketersediaan air pun bisa saling mempengaruhi.
Sejauh ini, profesor geografi fisik di Universitas Southampton di Inggris John Dearing memaparkan keruntuhan bisa terjadi 23 hingga 62 tahun lebih awal, tergantung pada sifat tekanan yang ada.
“Apabila titik kritis dulunya diprediksi akan terjadi pada 2100 (sekitar 77 tahun dari sekarang), maka akan lebih cepat, tergantung sejauh mana peningkatan gangguan pada ekosistem,” jelasnya.
Menurut Dearing, sekarang sangat sulit untuk memprediksi secara pasti bagaimana titik kritis dalam ekosistem yang disebabkan oleh perubahan iklim dan tindakan manusia lokal akan saling terhubung.
Namun, temuan penelitian menunjukkan perubahan iklim dan tindakan manusia lokal saling berinteraksi dan dapat memperburuk dampak satu sama lain pada ekosistem.