Bisnis.com, SOLO - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus menjadi polemik, salah satunya karena menyangkut soal tembakau yang masuk ke dalam pasal zat adiktif.
Sehingga apabila RUU ini disahkan, industri hasil tembakau (IHT) akan dikelompokkan dengan narkotika sebagai zat adiktif.
Hal ini tertuang pada Pasal 154 ayat 3 RUU Kesehatan yang berbunyi, zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan Samukrah meminta pemerintah harus tegas dalam membuat aturan dan mampu melindungi hak ekonomi, ladang penghidupan dua juta petani yang bergantung pada tembakau.
"Pemerintah harus bijak dalam membuat peraturan. Harus dikaji dampaknya pada berhentinya petani yang bekerja untuk menghidupi keluarganya. Tembakau adalah mata pencaharian utama kami di Madura. Jangan sampai pasal-pasal pengamanan zat adiktif, termasuk yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol membunuh para petani," ujarnya dikutip dari siaran pers, Kamis (22/6/2023).
Para petani pun menolak pasal pengamanan zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Baca Juga
Kontroversi RUU Kesehatan pada pasal Zat Adiktif terus berlanjut di tengah proses pengesahan aturan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan bahwa ekosistem tembakau akan terdampak dalam waktu yang cepat.
"Masa depan ekosistem tembakau sudah barang tentu akan hilang dengan cepat secara legal. Pemerintah juga akan dihadapkan pada posisi untuk mencari sumber lain selain tembakau," ujarnya dalam keterangan resminya, Rabu (21/6/2023).
Dirinya pun menyoroti pasal-pasal pengendalian tembakau (Pasal 154-158 dan Pasal 457) yang terkesan sangat diskriminatif dan eksesif terhadap industri tembakau.
"Ada logical fallacy di sini, mengelompokkan tembakau yang notabene barang legal sama dengan barang ilegal,"
Hananto kemudian memaparkan Putusan MK No. 6 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa zat-zat adiktif dalam rokok tidak setara dengan kandungan zat-zat adiktif lain seperti morfin, opium, ganja, dan sejenisnya.
"Oleh karena itu, ketika di dalam RUU Kesehatan rokok dipersamakan dengan narkotika dan psikotropika menjadi pertanyaan di mana letak konsistensi pemerintah dalam melihat pengaturan ekosistem pertembakauan. Harapan kami, RUU Kesehatan yang saat ini sedang memasuki pembicaraan tingkat kedua di DPR RI, agar dapat mengkaji ulang pasal-pasal terkait pengendalian tembakau,:
Sehingga Jangan sampai nantinya produk hukum yang lahir justru tidak memberikan perlindungan dan jaminan keberlangsungan bagi ekosistem pertembakauan.
Selain itu, Pasal 156 yang mengatur tentang standarisasi kemasan produk tembakau juga menimbulkan pertanyaan besar bagi asosiasi petani tembakau di Indonesia.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa nanti ke depannya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjadi pihak yang akan mengatur standarisasi kemasan. Menurut Hananto, ini bisa menimbulkan tumpang tindih aturan.
"Terkait standarisasi kemasan, selama ini telah diatur dalam PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan selalu ditaati oleh IHT. Maka, ketika pasal 156 muncul dalam RUU Kesehatan yang menyebutkan standarisasi kemasan akan diatur oleh Menkes, jelas bertentangan dengan aturan yang telah ada,"
Hal ini dimungkinakn munculnya bias dari pihak Kemenkes sebagai pemrakarsa RUU Kesehatan yang akan mendorong usulan porsi peringatan bergambar pada kemasan rokok akan ditambah hingga 90 persen.
"Oleh sebab itu kami sangat berharap, RUU Kesehatan ini tidak berakhir menjadi regulasi yang justru mengkriminalisasi ekosistem pertembakauan,"