Bisnis.com, JAKARTA — Persoalan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan terus berlanjut meski aturan tersebut segera dibahas di Rapat Paripurna DPR RI.
Pasal baru yang menjadi sorotan adalah hilangnya ketentuan belanja wajib atau mandatory spending di bidang kesehatan dalam RUU yang disusun dengan metode omnibus tersebut.
Sebelumnya, mengacu pada Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara harus menyediakan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Kendati demikian, panitia kerja (panja) RUU Kesehatan memutuskan untuk menghapus ketentuan tersebut dalam RUU Kesehatan. Penghapusan mandatory spending sendiri merupakan usulan yang disampaikan oleh pemerintah.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, penghapusan sistem mandatory spending diperlukan lantaran alokasi di bidang kesehatan pada kenyataannya masih belum berjalan dengan baik.
Berdasarkan pengalaman, alokasi belanja wajib sebesar 5 persen ini sering kali tidak memenuhi tujuan awal pemerintah. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu adanya ketidakefisienan dari aliran dana yang akan dikucurkan kedepannya.
Baca Juga
Oleh karenanya, mantan Wakil Menteri BUMN ini mengaku bahwa pihaknya tengah mempersiapkan metode lain terkait penyaluran anggaran di bidang kesehatan yang lebih efektif dan efisien.
“Kita akan membangun rencana induk kesehagan ini lima tahun ke depan, mengintegrasikan antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga lain seperti BPJS yang juga memiliki dana kesehatan,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan dikutip Jumat (23/6/2023).
Keputusan untuk menghapus mandatory spending kesehatan dalam RUU Kesehatan lantas mendapat kritik dari sejumlah fraksi di parlemen, yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Partai Golkar.
Adapun, Demokrat dan PKS kemudian menjadi dua fraksi yang menolak pembahasan RUU Kesehatan dilanjutkan ke tingkat II atau Rapat Paripurna DPR RI.
Anggota Komisi IX dari fraksi Demokrat Aliyah Mustika Ilham mengatakan, penghapusan mandatory spending dalam bidang kesehatan telah menjadi bukti nyata dari kurangnya komitmen negara dalam menyiapkan kesehatan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
“Fraksi Demokrat berpendapat bahwa mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat,” tutur Aliyah dalam Rapat Kerja Komisi IX bersama pemerintah, Senin (19/6/2023).
Sementara itu, fraksi PKS menilai penghapusan mandatory spending sebagai awal dari kemunduran pelayanan kesehatan masyarakat.
Menurut politisi PKS Netty Prasetiyani, kemunduran di bidang pelayanan kesehatan ini terjadi karena Indonesia akan sulit untuk memenuhi kebutuhan farmasi dan alat kesehatan lantaran terbatasnya anggaran.
Selain itu, lanjutnya, Indonesia juga menghadapi masalah pemerataan distribusi tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia, terutama di bagian timur Indonesia. Kesemua ini sulit dijamin dengan penghapusan mandatory spending kesehatan.
“Bukan hanya penyebutan alokasi yang dibutuhkan, akan tetapi sangat dibutuhkan nilai yang cukup agar tidak sekedar ada, karena jika sekedar ada maka tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia,” kata Netty