Bisnis.com, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan terhadap Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Alhasil, pemilu tetap dilaksanakan dengan sistem terbuka.
Dari delapan hakim MK, satu menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion. Amar putusan dibacakan hari ini pada sidang, Kamis (15/6/2023).
"Amar putusan mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Pendapat berbeda [dissenting oponion] Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda," kata Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya, Kamis (15/6/2023).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat lalu menjelaskan berbagai pertimbangannya terkait dengan perbedaan pendapat dengan tujuh hakim lainnya.
Dia menjelaskan isu hukum utama dalam permohonan pemohon harus dilihat dalam perspektif ideologis-filosofis, dan sosiologis-yuridis mengenai sistem demokrasi yag dianut yakni khususnya sila keempat Pancasila.
Arief lalu hanya membacakan perspektif ideologis-filosofis dalam pertimbangannya. Menurutnya, karakter demokrasi yang dianut saat ini tidak bisa dilepaskan dari perspektif historis dan nuansa kebatinan dalam sidang BPUPKI maupun PPKI yakni di mana Presiden Soekarno menyebut demokrasi yang dianut bukan model barat.
Baca Juga
Model demokrasi yang dianut, lanjutnya, yakni demokrasi ekonomi dan politik dengan kesejahteraan dan paham gotong royong. Hal itu, terang, Arief, juga tidak jauh dengan pendapat yang dimiliki oleh Mohammad Hatta.
Hakim Konstitusi itu menjelaskan bahwa Bung Karno menilai demokrasi permusyawaratan-perwakilan memiliki fungsi ganda yakni menjadi saran mengadu ide, gagasan, aspirasi, serta di sisi lain menguatkan negara persatuan.
"Dalam kerangka itu pula lah sistem Pemilu itu harus diletakkan. Dalam konteks pelaksaan demokrasi perwakilan, rakyat memilik para wakilnya melalui kendaraan 'partai politik' untuk menjaid wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Dalam negara yang berlandaskan hukum atau negara hukum demokratis, partai politik memiliki fungsi penting dan strategis," ujarnya.
Selanjutnya, dia menerangkan bahwa partai politik memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam suatu negara hukum yang demokratis. Dia mengatakan bahwa dalam kerangka itu pula peserta Pemilu memilih para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat adalah partai politik sebagaiman pada pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Di sisi lain, Hakim MK Saldi Isra menilai bahwa peran partai politik dalam sistem Pemilu terbuka sejak 2009 tetap sentral, tidak seperti yang dinilai oleh pemohon uji materi terhadap UU Pemilu.
"Sampai saat ini partai politik mempunyai peran sentral dan otoritas penuh dalam seleksi bakal calon termasuk pendaftaran nomor urut [calon legislatif]," terang Hakim MK Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (15/6/2023).
Saldi juga mengatakan bahwa fakta menunjukkan dalam Pemilu, partai politik menjadi satu-satunya pintu bagi seluruh warga negara untuk bisa maju sebagai calon legislatif (caleg).