Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta anggaran kesehatan dinaikkan menjadi 20 persen demi memenuhi kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan Anak Penyandang Disabilitas (APD).
"Dalam rangka pemenuhan hak anak menuju usia emas, sudah selayaknya anggaran kesehatan menjadi 20 persen, sebagaimana mengacu pada Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 54 bahwa setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra pada keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Pada pasal 422 Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dinyatakan bahwa pendanaan upaya kesehatan perseorangan dilakukan melalui penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan/atau asuransi kesehatan komersial.
"Untuk itu butuh upaya serius pemerintah dalam mempersiapkan dukungan pembiayaan, karena menyangkut tumbuh kembang si anak dari usia 0-5 tahun hingga mereka memasuki usia sekolah, di mana anggaran 20 persen itu diharapkan dapat mewujudkan derajat optimal kesehatan anak untuk tumbuh kembangnya," kata Jasra.
Dia mengungkap data yang menunjukkan total kelahiran bayi per tahun sebanyak 4,8 juta.
Dari total angka tersebut, 11 persen tidak ditangani petugas kesehatan yang terampil, sehingga setiap tahun tercatat 147 ribu anak meninggal dunia, serta lebih dari 15 ribu ibunya meninggal, untuk itu penting melakukan deteksi dan intervensi dini, rehabilitasi, dan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Baca Juga
"Masyarakat terutama ABK dan APD membutuhkan akses informasi dan layanan yang terjangkau dan memadai, maka peningkatan anggaran ini tentu menjadi signifikan untuk memenuhi hal tersebut, karena anggaran kesehatan sekarang belum memadai dengan perkembangan kesehatan global dan dampak perubahan iklim yang mengubah cara perlindungan anak," tuturnya.
Dalam hal pendidikan, terdapat 67 persen anak usia sekolah dari total 2.197.000 anak dengan disabilitas yang tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya, sehingga penting sekali melakukan terapi intervensi sebelum masuk usia sekolah.
"Berdasarkan hasil studi terbaru Komisi Nasional Disabilitas di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, terkait layanan deteksi dini dan intervensi dini pada ABK dan APD, masih terdapat disparitas dalam hal kebijakan pembiayaan, tetapi terlepas dari itu semua, peran unit layanan yang disediakan pemerintah daerah telah memberikan dampak yang positif," ujar Jasra.
"Walaupun jumlahnya masih sangat sedikit, tercatat dari masing-masing tingkat Kabupaten atau Kota baru menyediakan 1 unit dengan skema pembiayaan yang berbeda-beda," imbuhnya.
Oleh karena itu, Jasra menekankan pentingnya intervensi dini dalam bentuk rehabilitasi dan paliatif (pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien).
"Kedua akses tersebut dalam RUU disebut dengan skrining, maka penting menerjemahkan arti skrining di sini yang harus diperluas manfaatnya, karena selama ini kita mengalami kendala akibat kurangnya akses dan informasi layanan,” tukasnya.
Namun, KPAI memberi apresiasi terkait masuknya kebijakan skrining dan visum pada RUU Kesehatan yang sebelumnya banyak menemui kendala dan hambatan.
"Skrining ini menjadi pintu masuk tumbuh kembang anak ke depan, seperti skrining mulai ibu merencanakan kehamilan, saat mengandung, dan saat melahirkan guna memastikan pemenuhan gizi anak," jelasnya.
Sedangkan, visum yang benar menjadi penting menurut Jasra di tahap awal, karena bila tahapannya salah, akan berdampak pada pemulihan anak secara keseluruhan, sehingga penjelasan tentang skrining dan visum perlu diperluas lagi dalam RUU Kesehatan sesuai dengan kebutuhan anak.