Bisnis.com, JAKARTA- Pascareformasi 1998, kalangan Tionghoa Muslim di Indonesia turut menikmati kebebasan ekspresi keagamaan bercorak budaya mereka.
Hew Wai Weng, peneliti senior pada Institut Kajian Malaysia dan Antarbangsa (Ikmas), Universiti Kebangsaan Malaysia mengatakan bahwa salah satu kebebasan itu dimanifestasikan dengan mendirikan rumah ibadat, masjid bercorak budaya Tionghoa yang dipelopori oleh organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
“Tercatat setelah 1998, berdiri beberapa Masjid Cheng Ho yang diawali di Surabaya yang arsitekturnya bercorak budaya Tionghoa, tapi dipadukan dengan langgam Nahdlatul Ulama dengan keberadaan bedug serta mimbar yang berciri khas Muhammadiyah,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (24/5/2023).
Dia melanjutkan, selain ekspresi di bidang arsitektur, kalangan Tionghoa Muslim di Indonesia pun memiliki keleluasaan untuk menjalankan gerakan dakwah di Tanah Air. Hal ini ditandai dengan kemunculan pendakwah-pendakwah yang berasal dari kalangan tersebut.
“Tionghoa Muslim memiliki keberagaman dalam beragama. Tidak hanya tunggal. Organisasinya pun berbeda beda,” tutur Hew.
Dia juga mengatakan bahwa pesan yang disampaikan oleh para pendakwah Muslim Tionghoa juga beragam.
Baca Juga
“Meski banyak yang membawa pesan-pesan yang inklusif, tetapi ada juga yang membawa pesan kurang inklusif.”
Meski demikian, ada juga kesamaan di antara mereka, yaitu ada inisiatif untuk membangun identitas Tionghoa Muslim. Identitas itu terlihat dari berbagai masjid masjid berkarakteristik Tionghoa. Melaluinya, Hew berpandangan bahwa Tionghoa Muslim pada satu sisi ingin menyampaikan Islam yang bersifat kosmopolitan.
Selain itu, Tionghoa Muslim juga ingin menyebarluaskan inklusivitas dari orang Tionghoa. Inklusivitas itu terlihat dari kesediaan Tionghoa untuk terbuka untuk berinteraksi dengan kelompok-kelompok etnis lain.
“Tionghoa Muslim bukan hanya telah beradaptasi, tetapi juga membangun ruang bagi sebuah interaksi antar budaya, antara orang non-Tionghoa Muslim dan Tionghoa non-Muslim,” katanya.
Sehari sebelumnya, Hew turut terlibat dalam diskusi bertajuk Islam di kalangan Tionghoa Indonesia. Dalam diskusi itu, Johanes Herlijanto, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) mengatakan, Tionghoa Muslim menjadi salah satu contoh yang nyata, dan memperlihatkan kalangan ini telah banyak beradaptasi dengan budaya dan masyarakat lokal.
“Tionghoa bukan hanya mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai tradisi tempatan, tapi juga bisa memeluk agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Dia melanjutkan, melalui proses adaptasi baik dengan masyarakat setempat maupun dengan agama yang mereka anut, masyarakat Tionghoa Muslim membangun sebuah identitas yang memiliki keunikan tersendiri, yang sangat berbeda dari budaya dari orang-orang yang tinggal dan hidup di daratan Tiongkok.
Bahkan, bagi Johanes, Tionghoa Muslim bukan hanya telah beradaptasi, tetapi juga membangun interaksi antar budaya, antara orang Tionghoa dan non Tionghoa.
Dia berpendapat bahwa apa yang diperlihatkan oleh Tionghoa Muslim sejalan dengan penelitian Wang Gungwu, sejarawan Tionghoa perantauan, dan berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap para migran dari daratan Tiongkok menunjukan bahwa para migran adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk selalu berubah dan beradaptasi.
Johanes menerangkan bahwa kemampuan untuk beradaptasi dan berubah di atas juga melekat pada orang-orang Tionghoa Indonesia. Menurutnya, sejak mereka mendiami berbagai pulau di Nusantara, Tionghoa Indonesia telah mengalami proses perjumpaan dengan budaya lokal dan budaya-budaya lain yang mereka temui di tanah tempat mereka tinggal.
Karena itu, Tionghoa Indonesia telah berkembang menjadi kelompok-kelompok yang unik, yang identitas dan budayanya lebih tepat dipahami melalui konsep hibriditas, sebuah konsep yang merujuk pada sebuah kebudayaan mengandung aspek-aspek dari berbagai kebudayaan lain.
Menurutnya, terdapat budaya yang berbeda-beda antara satu kelompok etnik Tionghoa yang tinggal dan berkembang di sebuah daerah dengan mereka yang tinggal di daerah lain.
“Salah satunya adalah stereotipe yang memandang Tionghoa sebagai kelompok yang berbeda dari kebanyakan Indonesia yang lain karena mereka memiliki tradisi keagamaan yang tidak sejalan dengan agama-agama dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Stereotipe ini pernah muncul bersamaan dengan pandangan sekali China tetap China, dan anggapan bahwa Tionghoa akan tetap setia pada negeri leluhur mereka,” paparnya.
Menurutnya, cara berinteraksi Tionghoa Muslim merupakan salah satu bukti yang menunjukan bahwa stereotip negatif di atas adalah salah.
Namun, Johanes mengingatkan bahwa berbagai aktivitas dan peran Tionghoa, termasuk Tionghoa Muslim, yang makin marak dalam dua dasawarsa terakhir, merupakan buah dari munculnya sebuah masyarakat dengan ciri-ciri demokrasi yang kuat di Indonesia, yaitu masyarakat Indonesia pada era reformasi.