Bisnis.com, JAKARTA -- Setiap tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menangkap pejabat atau auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus suap. Tak pernah absen. Penangkapan auditor BPK ibarat lagu lama, terus terulang tanpa tahu kapan akhirnya.
Kasus terbaru tentu penangkapan oknum auditor muda BPK Riau bernama M Fahmi Aressa. Fahmi ikut terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Meranti Muhammad Adil, pada Kamis, Kamis (6/4/2023).
Berdasarkan konstruksi perkaranya, Adil diduga menyuap Fahmi untuk mendapatkan predikat audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Fahmi diduga menerima Rp1,1 miliar atas kongkalikong tersebut.
Selain itu, KPK kini tengah mendalami dugaan aliran dana korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian ESDM yang digunakan untuk mengondisikan temuan audit BPK.
Maraknya praktik kotor dalam pengondisian temuan audit terhadap kementerian/lembaga juga sampai di telinga BPK. Anggota III BPK Achsanul Qosasi mengatakan bahwa lembaganya sudah melakukan seluruh upaya untuk memastikan tidak adanya praktik korupsi pada kegiatan audit.
Pria yang telah menjadi anggota BPK sejak 2014 itu mengatakan setiap bulannya banyak ASN pemeriksan yang sudah disanksi bahkan diberhentikan.
Baca Juga
"Segala upaya sudah dilakukan. Setiap bulan MKKE [Majelis Kode Etik] sudah banyak memberikan sanksi dan bahkan memberhentikan ASN Pemeriksa," tuturnya kepada Bisnis, Kamis (27/4/2023).
Menurut Achsanul, praktik korupsi pada kegiatan audit kementerian/lembaga berakar pada masalah mental. Tidak hanya penerima suap yakni auditor atau pemeriksa, namun juga pemerintah/lembaga acap kali "nakal".
Oleh karena itu, auditor yang juga sempat menduduki kursi anggota DPR itu menilai harus ada sikap transparan dan akuntabel dalam kebijakan anggaran.
Berkaca dari kasus suap auditor BPK Riau oleh Bupati Meranti, pemerintah daerah dinilai harus ikut serta mengambil peran dalam mendukung tranparansi dan akuntabilitas.
"Para pejabat daerah juga sering merayu-rayu. Repot dan ruwet juga jika mereka tidak mendukung transparansi dan akuntabilitas anggaran di daerahnya," lanjut Achsanul.
Mengenai nasib auditor muda BPK Riau yang kini sudah ditahan KPK itu, Achsanul mengatakan lembaganya sudah memberhentikan Fahmi Aressa.
"Sudah pasti. Sudah diberhentikan," tutupnya.
RISIKO TINGGI
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menilai sebagaimana bidang pekerjaan lain, auditor atau pemeriksa tidak lepas dari risiko praktik korupsi dalam pekerjaannya.
Seperti diketahui, pimpinan KPK dua periode itu berlatar belakang auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Alex, sapaannya, menilai risiko praktik korupsi oleh auditor semakin tinggi ketika ada temuan tertentu dalam obyek pemeriksaan.
"Apalagi kalau temuannya itu menyangkut penyimpangan yang bernilai uang, di situlah ada kepentingan dari pihak yang diaudit. Tentu dari pihak yang diaudit mereka berkepentingan jangan sampai temuan itu terungkap di dalam laporan," jelasnya sata konferensi pers penahanan Bupati Meranti, di Gedung Merah Putih KPK, beberapa pekan lalu.
Alex mengatakan bahwa temuan auditor dalam suatu laporan, apabila ada indikasi penyimpangan, bisa berujung pidana atau ganti rugi. Apabila kepentingan antara auditor dan pihak yang diaudit itu dilihat sebagai hal yang menguntungkan, dia menyebut bakal ada proses negosiasi.
Menurutnya, apabila terdapat temuan yang terindikasi penyimpangan, pihak pemeriksa bisa untung dengan berkongkalikong bersama pihak yang diperiksa. Terdapat dua modus yang bisa dimanfaatkan oleh auditor.
Misalnya, auditor bisa menghilangkan temuan mencurigakan tersebut, atau tidak mengungkapnya dan memberikan opini WTP, sebagaimana kasus kongkalikong auditor BPK Riau dan Bupati Meranti.
"Kenapa bisa terjadi? Ini pasti ada sesuatu yang tidak matching di situ. Tentu ini menjadi PR buat BPK untuk lebih memperkuat mekanisme review dalam proses audit itu, supaya hal-hal yang dilakukan di bawah itu juga bisa diawasi oleh jenjang yang di atasnya," lanjut pimpinan KPK yang juga berlatar belakang hakim ad hoc itu.