Bisnis.com, JAKARTA - Ferdy Sambo tetap harus menjalani vonis hukuman mati karena upaya bandingnya pupus. Mantan perwira tinggi Polri itu kini hanya memiliki kesempatan mengajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK) untuk lolos dari hukuman mati.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta hanya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait vonis mati atas Ferdy Sambo
“Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 13 Februari 2023 Nomor 796/Pid.B/2022/PN JKT.SEL yang dimintakan banding tersebut,” kata ketua majelis hakim Singgih Budi Prakoso di PT DKI Jakarta, Rabu (12/3/2023).
Sambo adalah terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Dia telah terbukti sebagai otak di balik pembunuhan sadis terhadap anak buahnya tersebut. Di pengadilan tingkat pertama dia telah divonis mati.
Sementara pelaku utama lainnya yakni Bharada Eliezer alias Bharada E hanya divonis ringan yakni 1,5 tahun penjara. Sebenarnya seberapa besar peran Sambo dalam kasus Brigadir J?
Jalannya Eksekusi
Dakwaan kasus Brigadir J mengungkap peran Sambo. Diceritakan tubuh Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J terkapar berlumuran darah. Dia merintih kesakitan. Ferdy Sambo yang gelap mata, datang menghampiri tubuh bawahannya yang tergeletak tak berdaya.
Baca Juga
Jenderal Sambo membalut tangannya dengan sarung tangan warna hitam sebelum eksekusi berlangsung. Dia kemudian memegang senjata. Moncong senjata itu ditempelkan ke arah kepala Brigadir J. Pelatuk pistol ditarik. Brigadir J tewas seketika.
Sidang pembacaan dakwaan mengungkap banyak misteri. Salah satunya tentang dugaan keterlibatan langsung Ferdy Sambo dalam mengeksekusi anak buahnya tersebut.
Adegan Sambo menembak kepala Brigadir J jelas membantah klaim pihak mantan Kadiv Propam Polri itu.
Versi Sambo
Seperti diketahui, Penasihat Hukum Keluarga Sambo, Febri Diansyah, mengungkapkan bahwa Sambo tidak pernah memerintah Bharada E menembak Brigadir J. Apalagi, ikut mengeksekusi Brigadir J.
Sambo, kata Febri, justru kaget ketika melihat tubuh Brigadir J terkapar. Dia bahkan menyebut pecatan jenderal bintang dua itu berinisiatif meminta ajudannya memanggil ambulans.
Namun demikian, dakwaan yang dibacakan jaksa di pengadilan mengungkap semua kronologi pembunuhan Brigadir J. Dia adalah inisiator pembunuhan. Dia yang mengkoordinir terdakwa lainnya yakni Bharada E, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, dan Kuat Ma'ruf, termasuk menyusun skenario kematian Brigadir J.
Selain itu, surat dakwaan juga mengungkapkan bahwa Sambo membohongi pimpinannya. Tidak jelas siapa pimpinan yang dimaksud dalam dakwaan itu. Namun, jika merunut kronologi kasus yang beredar. Patut diduga, pimpinan yang dimaksud adalah Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
"Kamu nembak enggak Mbo?" tanya pimpinan itu kepada Sambo.
"Siap tidak jenderal. Kalau saya menembak kenapa harus di dalam rumah, pasti saya selesaikan di luar. Kalau saya nembak bisa pecah itu kepalanya karena senjata pegangan saya kaliber 45," sergah Sambo.
Hikmah Kasus Sambo
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso, mengatakan ada hikmah besar dalam kasus Ferdy Sambo.
Sidang banding terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) digelar di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Ketua Majelis Hakim Singgih Budi Prakoso menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan tetap menjatuhkan pidana hukuman mati kepada Ferdy Sambo.
Saat membacakan sidang putusan banding, Singgih menyebut ada hikmah di balik kasus pembunuhan Brigadir J.
"Di balik kejadian ini terdapat hikmah yang sangat besar, yang dapat diambil baik secara perseorangan maupun secara kelembagaan. Terutama adanya relasi kuasa yang patut dicermati karena hal demikian dapat berkembang ke arah arogansi kekuasaan, abuse of power," ucap Singgih Budi Prakoso.
Dia menambahkan, perlu adanya batas yang jelas dan tegas tentang apa saja perintah dari atasan yang dapat dilakukan secara sah.
"Semuanya tentu untuk tatanan kehidupan yang lebih baik, dalam rangka bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," tutur Singgih.