Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pamer Rekam Jejak, Langkah Anies Ikuti Kisah Sukses Jokowi?

Anies mulai jualan tentang rekam jejak. Dia meniru langkah Jokowi dengan memamerkan keberhasilannya mengurus Jakarta.
Bakal Calon Presiden dari Partai Nasdem, Anies Baswedan (tengah) menyampaikan pidato kebangsaan di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (21/1/2023). Kunjungan Anies Baswedan tersebut dalam rangka safari politik sekaligus silaturahmi dengan para relawan dan kader Partai Nasdem di daerah tersebut. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU
Bakal Calon Presiden dari Partai Nasdem, Anies Baswedan (tengah) menyampaikan pidato kebangsaan di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (21/1/2023). Kunjungan Anies Baswedan tersebut dalam rangka safari politik sekaligus silaturahmi dengan para relawan dan kader Partai Nasdem di daerah tersebut. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU

Bisnis.com, JAKARTA – Rekam jejak adalah dua kata yang selalu didengungkan bakal calon presiden (bacapres) Anies Baswedan jelang Pilpres 2024.

Anies adalah bacapres dari calon koalisi perubahan. Calon koalisi perubahan terdiri dari tiga partai yakni Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketiga partai ini telah sepakat mengusung Anies, tetapi masih malu-malu mengakui sebagai koalisi.

Ada banyak penyebanya, salah satunya tentang bakal calon wakil presiden atau bacawapres Anies. Baik NasDem, PKS dan Demokrat belum sepakat tentang sosok bacawapres. Menariknya, mereka justru memiliki intensi kepada tokohnya masing-masing. NasDem, misalnya, berulangkali menyebut nama Khofifah Indarparawansa, PKS Ahmad Heryawan, dan Demokrat tentu Agus Harimurti Yudhoyono.

Anies sendiri saat ini fokus untuk melakukan safari dan komunikasi politik. Sejak purna tugas jadi gubernur DKI Jakarta pada medio Oktober 2022, langsung tancap gas. Dia semakin rajin bersafari politik dan terjun ke pelosok daerah. Anies, dalam berbagai kesempatan, berulangkali menyinggung tentang rekam jejak untuk memilih calon pemimpinan.

Anies bahkan menekankan bahwa dibandingkan dengan visi misi, rekam jejak calon pemimpin jauh lebih penting. Secara tersirat, dia menempatkan rekam jejak punya derajat lebih tinggi daripada visi misi. Rekam jejak, dalam pandangan Anies, harus lebih dihormati daripada visi misi.

Anies pun sudah menyusun satu kalimat untuk menggambar derajat rekam jejak vs visi misi. "Visi misi adalah imajinasi, rekam jejak adalah kenyataan karena itu sudah dikerjakan," ujarnya.

Visi misi, kata Anies, bisa dikarang sesuka hati sejauh budi terbayang. Visi misi dapat dipoles seindah cinta pertama namun tak akan berarti jika tak ditopang kredibilitas si pemoles.

Dia ingin mengatakan visi misi seorang calon pemimpin tak lebih dari sekadar bualan jika tak ditopang rekam jejak yang mumpuni. Setidaknya, rekam jejak dapat dijadikan barometer sejauh mana visi misi seorang pemimpin layak dipercaya.

Sejalan dengan itu, Anies pun kerap menyinggung capaian-capaiannya selama jadi gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Tak heran jika Anies akan terus jadikan “rekam jejak yang pertama” sebagai narasi utama kampanyenya. Setidaknya, strategi serupa pernah memenangkan Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2014.

Pengalaman Pilpres 2024

Mungkin cerminan terbaik untuk Pilpres 2024 nanti adalah Pilpres 2014. Alasannya jelas, tidak ada calon petahana yang ikut bertanding. Kemenangan Jokowi pada Pilpres 2024 menjadi pengalaman berharga bagi para pelaku politik.

Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam artikel “Indonesian Politics in 2014: Democracy’s Close Call” di Jurnal Bulletin of Indonesian Economic Studies (2014), menilai perjalanan kampanye Jokowi sangat kacau di Pilpres 2014.

Aspinall dan Mietzner mengatakan, saat itu Jokowi tak punya visi misi yang jelas untuk Indonesia ke depan. Ditambah lagi, sempat terjadi konflik dengan partai politik pendukung utamanya, PDI Perjuangan (PDIP), terutama terkait pendanaan.

Gelagat itu terlihat dari pidato-pidato Jokowi yang temanya sering soal percakapan sehari-hari daripada mendiskusikan gagasan untuk Indonesia ke depan.

Strategi kampanye itu memang terbukti populer di kalangan pemilih pedesaan. Meski begitu, penduduk kota lebih mengesankan Jokowi sebagai capres yang tak memiliki konsep bagaimana nantinya dia akan memerintah. Jokowi hanya menawarkan ide "revolusi mental" yang kurang jelas penerapannya.

Di sisi lain, Aspinall dan Mietzner melihat kampanye Prabowo lebih terkesan rapi. Lewat berbagai pagelaran kampanyenya, Prabowo mampu mengidentikkan diri sebagai calon pemimpin yang tegas.

Dalam pidato-pidatonya, Prabowo kerap deskripsikan Indonesia sebagai negara yang hampir hancur. Dia pun memasang badan untuk melawan berbagai tindakan korupsi dan eksploitasi asing—yang dianggap sebagai masalah utama di Indonesia.

Aspinall dan Mietzner menilai pesan Prabowo konsisten dan mudah diingat. Strategi kampanye Prabowo efektif menyoroti banyak kurangnya sosok Jokowi.

Akibatnya, meski di awal-awal kontestasi elektabilitas Jokowi cukup ungguli Prabowo namun perlahan selisihnya makin menipis. Menurut survei SMRC, sejak Desember 2013 hingga medio Juni 2014, Jokowi kehilangan 15 persen suara sedangkan Prabowo memperoleh 22 persen suara.

Masih dari survei SMRC, pada medio Juni 2014 atau kurang dari sebulan pencoblosan, selisih elektabilitas Jokowi (47 persen) dan Prabowo (45 persen) hanya terpaut dua persen.

Lalu, mengapa Jokowi tetap menang?

Aspinall dan Mietzner berpendapat di samping berbagai kekurangan kampanyenya, Jokowi punya program politik inti yang sudah teruji. Otomatis, itu menambah daya tariknya.

Contohnya, program kartu kesehatan yang berhasil Jokowi terapkan saat jadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Dengan kartu itu, warga miskin bisa mengakses perawatan kesehatan publik gratis.

Sementara itu, rekam jejak Prabowo di militer turut jadi sorotan. Apalagi, Prabowo buat kesalahan besar di fase final masa kampanye.

Sebelumnya, dia sudah berhati-hati dengan tak banyak bicara soal rencana perubahan sistem politik. Prabowo hanya mendeskripsikan diri sebagai seorang demokrat.

Namun, pada akhir Juni 2014, dia menyatakan pemilihan umum langsung tak sejalan dengan budaya Indonesia. Prabowo merasa perlunya konsensus baru dalam sistem politik yang lebih menekankan pentingnya kekuasaan presiden.

Jokowi pun diuntungkan dengan pernyataan Prabowo itu. Akhirnya, dia dapat memantapkan keunggulannya atas Prabowo di hari pencoblosan.

Sebagai perbandingan, Ulla Fionna dan Gwenael Njoto-Feillard dalam artikel “Junctures of the Old and New: The 2014 Indonesian Elections” di Jurnal Southeast Asian Affairs (2015), menekankan faktor rekam jejak di balik kemenangan Jokowi atas Prabowo.

Fionna dan Njoto-Feillard menilai janji-janji kampanye Prabowo hanya tampak seperti kumpulan konsep. Sementara itu, janji politik Jokowi tampak lebih jelas sebab sejalan dengan program-program yang pernah dia terapkan selama memimpin Solo dan Jakarta.

“Program kartu kesehatan dan pendidikannya terbukti menguntungkan orang miskin dan dia [Jokowi] mengandalkan rekam jejaknya itu untuk kampanye,” simpul Fionna dan Njoto-Feillard.

Bagaimana Peluang Anies?

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai narasi yang mengedepankan rekam jejak akan jadi senjata kampanye efektif bagi Anies di Pilpres 2024.

Setidaknya, jika lawan Anies nanti memang dua nama bakal calon presiden yang kerap disinggung belakangan: Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Firman menilai, dari tiga nama capres potensial itu, Anies lah yang memiliki rekam jejak paling menjual. Menurutnya, banyak capaian Anies saat jadi gubernur DKI Jakarta yang bisa dipamerkan selama kampanye Pilpres 2024.

Dari sisi pembangunan fisik misalnya. Firman mencontohkan kalangan disabilitas diberi kesempatan untuk berjualan di beberapa titik yang dibangun Pemda DKI Jakarta. 

Kemudian, adanya perkembangan pelestarian budaya lewat revalitisasi Taman Ismail Marzuki. Lalu, tak ada konflik antara umat beragama maupun rasial, bahkan umat Hindu Tamil untuk pertama kalinya punya rumah ibadah di Jakarta.

Sedangkan untuk Ganjar, Firman merasa kinerjanya selama jadi gubernur Jawa Tengah tak ada yang terlalu impresif. Begitu juga dengan Prabowo yang tak terlalu teruji selama jadi menteri pertahanan pemerintah Presiden Jokowi.

"Sebetulnya itu yang menjadi nilai jual Anies, rekam jejak,” jelas Firman kepada Bisnis, Selasa (28/2/2023).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper