Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU) telah disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR RI yang ke-16, Selasa (14/2/2023).
Namun, keputusan tersebut fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan lain-lain.
Bahkan, penolakan terhadap RUU Kesehatan sebenarnya muncul setelah RUU tersebut berhasil masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) 2023.
Berikut poin-poin perubahan dalan RUU Kesehatan yang dirangkum oleh Bisnis.
1. BPJS akan bertanggung jawab kepada menteri kesehatan
Salah satu pasal yang direvisi dalam RUU Kesehatan ialah terkait kedudukan BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik.
Baca Juga
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 2 UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (UU BPJS), diketahui bahwa BPJS secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden RI.
Namun, dalam RUU Kesehatan, ketentuan tersebut tidak akan berlaku lagi. Kelak, pertanggungjawaban BPJS harus disampaikan melalui menteri teknis yang dalam hal ini ialah menteri kesehatan dan menteri ketenagakerjaan.
"BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui: a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan ," bunyi Pasal 7 Ayat 2 RUU Kesehatan.
"b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan."
2. Penegasan tentang pendaftaran mandiri peserta BPJS
Sebelumnya, pemberi kerja secara bertahap wajib untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Namun, tidak ada ketentuan apakah pekerja dapat mendaftarkan dirinya secara mandiri sebagai peserta BPJS.
Oleh karena itu, dalam RUU Kesehatan, badan legislasi (baleg) DPR RI sebagai pihak pengusul memutuskan untuk menambahkan ayat baru yang menjelaskan bahwa pekerja berhak untuk mendaftarkan sebagai peserta atas tanggungan pemberi kerja.
3. Pasal baru tentang layanan medis bagi korban kekerasan dan kecelakaan tunggal
Adapun, Baleg DPR memutuskan untuk menyisipkan satu pasal baru mengenai aturan jaminan kesehatan bagi peserta BPJS yang mengalami kekerasan ataupun kecelakaan tunggal.
Ke depannya, jika ada peserta BPJS yang mengalami kekerasan ataupun kecelakaan tunggal yang membutuhkan layanan medis, maka mereka berhak mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan medis yang diperlukan.
4. BPJS wajib menerima kerja sama yang diajukan faskes
Pada Pasal 23 Ayat 1, disebutkan bahwa BPJS kini wajib menerima kerja sama yang telah diajukan oleh setiap fasilitas kesehatan (faskes).
Hal tersebut menjadi salah satu aturan baru yang muncul dalam RUU Kesehatan.
Beberapa pihak menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan prinsip sukarela kerja sama BPJS Kesehatan dengan faskes, yang diatur dalam Pasal 23 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Perubahan ini dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas pelayanan karena aturan tersebut membatasi BPJS untuk melakukan seleksi atas faskes yang telah memenuhi syarat pelayanan.
5. Penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) sementara diambil alih oleh Menteri Kesehatan
Surat Tanda Registrasi (STR) sementara merupakan dokumen hukum/bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis WNA yang telah melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran yang bersifat sementara di Indonesia.
Sama halnya dengan STR dokter, STR sementara merupakan dokumen hukum yang hanya dapat diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ketentuan tersebut tertuang dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK).
Kendati demikian, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam RUU Kesehatan, kewenangan untuk menerbitkan STR sementara kini dialihkan ke menteri kesehatan. Selain itu, menkes juga akan bertanggung jawab atas penerbitan Surat Izin Praktik (SIP).
Adapun, SIP merupakan izin tertulis bagi dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran di satu lokasi.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2052 Tahun 2011, SIP hanya dapat diterbitkan oleh Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota.