Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menganggarkan Rp803,86 miliar untuk mencetak surat suara di Pemilu 2024. Perencanaan anggaran itu sesuai rencana penyelengaraan sistem pemilu proporsional terbuka.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari merincikan, untuk jenis surat suara pemilihan anggota DPR dan DPRD Provisi, alokasi anggarannya masing-masing sekitar Rp271,373 miliar. Untuk surat suara DPRD kabupaten/kota alokasi anggaran sebesar Rp261,114 miliar
"Total untuk anggaran biaya cetak surat suara untuk pemilu 2024 adalah Rp803.862.737.972,” ungkap Hasyim dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik di Kantor DKPP, Jakarta Pusat, Senin (27/2/2023).
Perencanaan anggaran cetak suara itu didasarkan ketentuan Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu). Aturan itu mengatur surat suara sebagaimana yang disebut Pasal 341 ayat (1) huruf b UU Pemilu.
“Surat suara sebagaimana dimaksud pada Pasal 341 ayat (1) huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk setiap dapil,” jelas Hasyim.
Oleh sebab itu, dia menegaskan saat ini KPU masih berencana menyelenggarakan Pemilu 2024 dengan landasan sistem pemilu terbuka. Sebab, dalam sistem pemilu tertutup tak ada nomor urut dan calon anggota DPR/DPRD di surat suara.
Baca Juga
Hasyim menjelaskan, pernyataannya yang menyebabkan dirinya dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan bermaksud untuk mendukung penyelenggaraan sistem pemilu tertutup.
Dia hanya ingin menjelaskan situasi terkini yang berkembang soal Pemilu 2024, salah satunya perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tentang sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam perkara itu, para penggugat meminta agar sistem pemilu yang awalnya proporsional terbuka diganti menjadi proporsional tertutup.
Perkara no. 14-PKE-DKPP/II/2023 di DKPP soal dugaan pelanggaran kode etik Hasyim terkait pernyataan tentang pemilu tertutup itu sendiri dinyatakan selesai karena pengadu mencabut laporannya di persidangan.
Pernyataan kontroversial Hasyim
Sebelumnya, Hasyim menjelaskan, sebelum Pemilu 2009, sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Saat itu, masyarakat tak memilih langsung calon legislatif (caleg) seperti saat ini, melainkan ditunjuk oleh partai politik.
Sistem pemilu berubah menjadi proporsional terbuka setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008. Akhirnya, Undang-undang (UU) terkait pemilu direvisi dan ditetapkan sistem pemilu jadi proporsional terbuka.
Oleh sebab itu, Hasyim memperkirakan ada kemungkinan MK akan kembali menetapkan pemilu sistem proporsional tertutup. Apalagi, saat ini sudah ada yang mengajukan uji materi ke MK soal aturan UU terkait sistem pemilu proporsional terbuka itu.
“Jadi kira-kira bisa diprediksi atau ndak putusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” jelas Hasyim seperti yang ditayangkan kanal YouTube KPU RI, Kamis (30/12/2022).
Maka, dengan alasan itu, KPU akan melarang para bakal caleg untuk memang foto dirinya di baliho atau sejenisnya dengan tujuan melakukan sosialisasi.
“Dengan begitu menjadi tidak relevan misalkan saya mau nyalon pasang gambar-gambar di pinggir jalan, jadi enggak relevan. Karena apa? Namanya enggak muncul lagi di surat suara. Enggak coblos lagi nama-nama calon, yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu [proporsional tertutup],” ujar Hasyim.
Pernyataan inilah yang menyebabkan Hasyim dilaporkan dengan tuduhan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu.