Bisnis.com, JAKARTA -- Koperasi sedang menjadi sorotan. Pemicunya tentu kasus penipuan dan penggelapan yang sedang bergulir di penegak hukum. Ada kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya hingga KSP Sejahtera Bersama. Jumlah korbannya tidak sedikit. Ribuan hingga puluhan ribu orang. Kerugiannya juga cukup fantastis, ditaksir mencapai ratusan triliun.
Ratusan triliun itu uang semua. Bukan barang atau dedaunan. Uang itu berasal dari gaji, tabungan, uang pensiun, atau hasil jual aset. Para nasabah tergiur menyimpan uang hasil jerih payahnya ke koperasi karena iming-iming imbal hasil yang besar. Tetapi setelah proses berlanjut, sekian tahun berlalu, jangankan keuntungan. Uang tak kembali. Nasabah gigit jari.
Para pemilik dana alias nasabah sebenarnya tidak diam begitu saja. Modus 'perampokan' berkedok koperasi benar-benar membuat mereka rugi besar. Upaya perlawanan mereka lakukan. Para nasabah menempuh semua jalur.
Upaya mediasi hingga gugatan perdata dan pemidanaan pengurus koperasi telah dilakukan. Hasil yang diperoleh, nihil. Upaya perdata memang ada yang berhasil. Tetapi proses penyelesaiannya tidak sesuai ekspektasi. Pihak koperasi tidak menjalankan kewajiban sesuai perjanjian. Pengembalian uang nasabah seret.
Sedangkan langkah pemidanaan mentok di pengadilan. Kasus Indosurya menjadi contoh paling sempurna. Upaya para nasabah kandas saat hakim memutus lepas dua terdakwa kasus Indosurya. Majelis hakim memang tidak membantah dakwaan jaksa. Namun menurut mereka, kasus Indosurya tidak masuk ranah hukum pidana melainkan perdata.
Putusan itu tentu semakin membuat nasib nasabah Indosurya dalam posisi tak tentu. Mereka sudah menang gugatan perdata, tetapi uang tetap tak kunjung kembali. Sedangkan ketika memakai jalur pidana, harus kandas di pengadilan. Pengurus koperasi bebas dari penjara. Bahkan konon masih ada petinggi koperasi yang hidup nyaman di luar negeri. Dia berstatus buronan polisi.
Baca Juga
Kasus-kasus Indosurya dan tetek bengek-nya, dalam posisi tertentu skandal investasi bodong, membuktikan lemahnya pengawasan terhadap lembaga yang memungut dana publik. Padahal, kasus tersebut, bukan pertama kali terjadi. Kerap terjadi dan terkadang menjadi momok bagi masyarakat kecil.
Pengalaman sejumlah korban, misalnya, ada beberapa koperasi yang mungut uang sampai ke desa-desa. Mereka memungut uang dari warga desa. Tidak besar pungutannya. Rp10.000 setiap kali datang. Besar kecilnya tergantung kemampuan nasabah. Petugas koperasi kemudian berkeliling dari rumah ke rumah mengambil uang dari warga.
Janji pihak koperasi ke warga, uang itu adalah tabungan dan bisa diambil warga desa. Namanya warga desa. Tawaran itu menggiurkan. Mereka belum sepenuhnya melek keuangan. Bahkan paham tentang industri keuangan pun tidak. Bayangan warga ya, seperti tabungan di rukun tetangga atau RT. Bisa diambil sewaktu-waktu. Minimal bisa menutup biaya kalau merayakan lebaran atau sedang menggelar hajat besar.
Namun sama seperti kasus Indosurya. Saat warga ingin butuh, uangnya tidak ada. Pengurusnya kabur. Hampir saja, kantor koperasi tersebut diobrak-abrik warga. Untung ada pegawai yang akhirnya mau mengembalikan uang warga.
Cerita lain lagi pernah Bisnis peroleh dari keluarga korban koperasi bodong. Mereka tergiur return tinggi. Posisi korban berada di Jawa Timur. Tepatnya di Kota Surabaya. Tak tanggung-tanggung nilai uang yang ditaruh di koperasi mencapai puluhan miliar. Pengembalian tidak jelas. Korban hanya menerima janji palsu. Puluhan miliar terancam melayang.
Pemerintah memang tidak lepas tangan. Mereka beberapa kali melakukan pertemuan untuk membahas polemik koperasi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bahkan meminta jangan sampai negara kalah tehadap para pelaku kejahatan koperasi. Para penjahat harus dihukum. Itulah sebabnya dia memerintahkan Bareskrim untuk membuka kasus baru Indosurya.
Bagi Mahfud, koperasi hangan sampai digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menipu, menggelapkan uang warga atau bahkan menjadi mesin pencucian uang. Apalagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK telah buka-bukaan. Sebanyak 12 koperasi terindikasi kuat melakukan pencucian uang. Nilainya mencapai fantastis Rp500 triliun.
Praktik kejahatan dan pencucian uang berkedok koperasi ini tentu sudah melenceng dari tujuan utama pendiriannya. Ide awal tentang koperasi di Indonesia sangat patriotis. Mohammad Hatta atau Hatta, bapak koperasi Indonesia, proklamator membayangkan bahwa koperasi mampu membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan rentenir dan tukang kredit.
Pemikiran Hatta ini muncul karena pada waktu itu, dan sepertinya masih relevan sampai sekarang, rakyat Indonesia mengalami dua kali kerugian. Pertama, sebagai penjual mereka menjual semurah-murahnya. Kedua, membeli semahal-mahalnya.
Namun menurut Hatta solusi dari masalah ini bukan membangun bank partikelir dengan cap nasional. Bukan pula mengadakan perkumpulan anti-riba.
Keadaan itu, kata Hatta, hanya dapat diperbaiki dengan membuat susunan produksi dan konsumsi rakyat. "Pendeknja dengan mengadakan prodoeksi, konsumsi, koperasi dan dibantu dengan kredit koperasi," kata Hatta dikutip dari buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam yang ditulis Anwar Abbas.
Hatta yakin koperasi akan menjadi alternatif bagi masalah ekonomi. Pada akhirnya rakyat juga akan sejahtera. Apalagi di dunia ini banyak contoh negara yang mampu mencapai kemakmuran lewat koperasi. "Bahwa rakyat Inggris, Denmark, Swedia, Norwegia dan dunia barat sanggup mengangkat dirinya dari miskin menjadi makmur karena koperasi."