Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak atau stunting masih menjadi tantangan tak kasat mata yang harus segera diselesaikan oleh seluruh pihak.
Kepala Negara pun mengaku kaget saat pertama kali menjabat menjadi Presiden RI mengetahui bahwa pada 2014 persentase stunting berada di angka 37 persen.
“Saya kaget dan tadi disampaikan [Menkes] Budi Sadikin, saya kalau panggil Pak Menkes Budi karena [beliau] bukan dokter tetapi jadi menkes. Jadi, sudah disampaikan Pak Menkes pada 2022 angkanya sudah turun jadi 21,6 persen. Ini kerja keras kita semuanya,” ujarnya saat membuka Rakernas Program Banggakencana dan Penurunan Stunting yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (25/1/2023).
Lebih lanjut, orang nomor satu di Indonesia ini menegaskan bahwa dampak stunting bukan hanya mengenai urusan tinggi badan dan pertumbuhan kembang anak, tetapi dinilainya yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan munculnya penyakit kronis yang lebih mudah masuk ke tubuh anak.
Oleh sebab itu, Kepala Negara asal Surakarta ini menargetkan bahwa stunting harus mampu mencapai angka 14 persen pada 2024.
“Harus kita bisa capai. Saya yakin dengan kekuatan kita bersama semuanya bergerak, angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama, karena kita kalau di Asean [posisi stunting] masih di tengah-tengah. Ini nanti kalo sudah masuk ke 14 persen baru kita berada di bawahnya Singapura sedikit,” katanya.
Baca Juga
Persentase Stunting di Asean
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Desember 2021, di lingkungan negara Asia Tenggara (Asean), prevalensi stunting adalah Myanmar 35 persen, Vietnam 23 persen, Malaysia 17 persen, Thailand 16 persen, Singapura 14 persen dan Indonesia 24 persen.
Semetara itu, Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh BKPK Kemenkes pada 2021, diketahui bahwa proporsi stunting tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (37,8 persen), Sulawesi Barat (33,8 persen), dan Aceh (33,2 persen). Adapun yang terendah di Bali 10,9 persen, DKI Jakarta 16,5 persen, Yogyakarta 17,3 persen, Kepulauan Riau 17,6 persen, dan Lampung 18,5 persen.
“Kalau Provinsi tadi disampaikan Menkes lima [provinsi] tertinggi itu memang di NTT, Sulbar, Aceh, NTB, dan Sulawesi Tenggara. Namun, kalau dihitung secara jumlah beda lagi yang paling banyak Jabar, Jatim, Jateng, Sumut, dan Banten. Ini kalau jumlah yang ada semuanya bisa dimiliki by name by address lebih mudah sekali untuk menyelesaikan karena sasarannya jelas, monitornya jelas,” tuturnya.
Mantan Wali Kota Solo ini pun kembali memuji Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau terkait dengan keberhasilan mereka dalam penanganan stunting.
"Karena yang saya lihat di Sumedang, dengan aplikasi memonitor individu, kebutuhannya apa bisa dicek lewat platform yang dimiliki itu," katanya.
Oleh sebab itu, dia meminta secara nasional di setiap provinsi di Indonesia memiliki sistem itu, supaya penanganan yang dilakukan bisa lebih tepat sasaran. Apalagi jumlah balita di Indonesia yang mencapai 21,8 juta.
Tidak hanya itu, Jokowi juga melihat infrastruktur Indonesia sebenarnya mumpuni untuk mengimplementasi teknologi dan infrastruktur untuk penanganan stunting. Apalagi, terdapat 300.000 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan 10.200 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia.
“Jadi, sebetulnya infrastruktur lembaga yang kita miliki kalau digerakkan betul dan bisa bergerak dengan baik mudah menyelesaikan persoalan ini. Hanya problemnya puskesmas tidak tersebar merata, ada yang 1 kecamatan punya 7, dan 1 kecamatan hanya ada 2, serta ada 1 kecamatan kurang dari 1. Pemerataan ini juga poin penting,” pungkas Jokowi.