Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Melawan Tirani Mayoritas

Terlepas dari kritik dan kekurangannya, demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mencegah kekuasaan dimonopoli oleh mayoritas atau tirani mayoritas.
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilpres di TPS 222 Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1 Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta, Rabu (17/4/2019)./ANTARA-Nova Wahyudi
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilpres di TPS 222 Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1 Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta, Rabu (17/4/2019)./ANTARA-Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA -- Perdebatan tentang demokrasi sering muncul beberapa waktu terakhir. Orang mulai mempertanyakan bahkan menggugat esensi demokrasi. Apakah demokrasi tepat bagi heterogenitas Indonesia? Apakah demokrasi memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memilih dan dipilih?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut bahkan hingga mencapai titik ekstrem menjelang Pemilu 2024. Misalnya mengaitkan demokrasi dengan tirani mayoritas. Dalam konteks Indonesia, adanya pendapat bahwa pemimpin harus Jawa dan Islam, menjadi titik perdebatan yang sering kali tanpa ujung.

Padahal, dalam demokrasi, seharusnya semua warga negara miliki kesempatan yang sama. Enggak harus Jawa atau mewakili agama tertentu. Semua equal sebagai warga negara. Orang Aceh, Papua, Minahasa, Manggarai, Timor, Jawa, Minang, Sunda hingga Madura, punya hak politik yang sama.

Kalau kata bapak demokrasi liberal, John Locke, demokrasi bicara tentang kesetaraan. Kesetaraan itu menurutnya mencegah penindasan antara kelompok satu dengan yang lain. 

Hanya saja, realitas politik Indonesia terkadang berada dalam posisi yang tidak ideal. Faktor antropologis sering menjadi kambing hitam. Argumentasi ini sering menjadi pembenaran bagi sejumlah pihak yang setuju bahwa seorang presiden harus berlatar belakang suku Jawa.

Soal yang terakhir tidak sepenuhnya tepat. Tidak semua orang Jawa memilih calon yang satu suku. Orientasi politik orang Jawa juga tidak selamanya memilih pemimpin dari Jawa. Data dalam Pemilu 2004 sebenarnya menjadi cerminan yang cukup kompleks. 

Seandainya pendapat bahwa orang Jawa memilih Jawa benar, seharusnya presiden yang terpilih pada Pemilu 2004 adalah Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi atau Wiranto dan Salahuddin Wahid (Gus Solah). Secara genealogis, terutama dari garis ayah, keempat tokoh itu adalah orang Jawa. SBY juga Jawa namun wakilnya Jusuf Kalla berlatar belakang Bugis.

Toh nyatanya Mega-Hasyim dan Wiranto-Gus Solah kalah, pemenang Pemilu 2004 adalah SBY-JK. Padahal dua tokoh ini tidak memiliki akar politik yang kuat di Jawa. Hal ini berbeda dengan Megawati yang memiliki basis pemilih PDIP di Jawa Tengah, Gus Solah dan Hasyim Muzadi yang berlatar belakang NU atau Wiranto yang terkenal sebagai pengawal transisi otoritarianisme Orde Baru ke demokrasi seperti sekarang ini, yang kebetulan juga orang Jawa.

Paslon SBY-JK sepertinya berhasil mencuri perhatian karena sosok SBY yang merupakan rising star pada waktu itu, ditambah dengan sepak terjang Jusuf Kalla sebagai juru runding handal dalam konflik sektarian yang pernah mengguncang Indonesia pasca reformasi. Mereka bahkan mampu menguasai perolehan suara di basis pemilih Jawa.

Kombinasi ketokohan SBY-JK mampu menembus batas-batas etnisitas dan sebenarnya membantah argumentasi bahwa orang Jawa selalu memilih Jawa. Rasanya tak berlebihan jika kasus Pemilu 2004, adalah cerminan demokrasi Indonesia, yang sejauh ini cukup ideal.

Sayangnya, tren positif pada Pemilu 2004 tidak berlanjut. Sistem pemilihan langsung dengan menekankan suara mayoritas membuat demokrasi di Indonesia dipenuhi oleh para petualang politik yang hanya memikirkan kekuasaan sesaat. Mereka kadang memilih jalan paling pragmatis dengan mengangkat isu sensitif yang berbau etnisitas maupun agama.

Pragmatisme politik dengan mengangkat identitas suku atau agama tertentu yang kian hari kian kencang perlu dihindari atau kalau perlu terus dikritisi dalam diskursus politik. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus lebih cerdas dan bernas. Memang upaya ini akan memicu kegaduhan. Tetapi kalau kegaduhan itu dipicu oleh perdebatan yang substantif, why not

Robert Dahl salah satu pembela demokrasi, dalam Democracy and Its Critics, menulis dengan gamblang bahwa terlepas dari kritik dan kekurangannya, bagaimanapun demokrasi harus diakui sebagai sarana politik yang tidak menghendaki eksistensi kekuasaan tunggal atau tirani mayoritas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper