Bisnis.com, JAKARTA -- Posisi pemerintah makin kuat. Kini mereka menguasai lebih dari 80 persen kursi di parlemen. Ada kekhawatiran, konsolidasi kekuasaan eksekutif di DPR akan mengebiri fungsi lembaga legislatif.
Sebaliknya, kekuatan politik 'penyeimbang' jelas semakin kehilangan taji. Suara mereka makin kecil. Tak banyak lagi yang bisa diharapkan. Paling, pol mentok mereka hanya koar-koar di media sosial. Itupun terkadang substansinya tak jelas seperti tong kosong yang nyaring bunyinya.
Fenomena konsolidasi kekuasaan di legislatif memang jelas menguntungkan penguasa. Dengan kekuatan lebih dari 80 persen kursi di parlemen, eksekutif semakin mudah untuk mengendalikan kekuatan di legislatif. Suara sumbang bisa ditekan. Kepentingan-kepentingan eksekutif makin diakomodasi. Termasuk rencana mengamandemen konstitusi.
Wajar saja, dengan peta kekuasaan saat ini, anggapan bahwa DPR hanya tukang stempel program pemerintah bukan isapan jempol semata.
Saat ini sulit menemukan anggota DPR yang kritis terhadap program pemerintah. Sangat sedikit pula wakil rakyat yang benar-benar mau dan mampu menyuarakan kepentingan rakyat. Beda kasus kalau menyuarakan kepentingan partai. Tentunya mereka akan sangat lantang.
Padahal, konstitusi mengatur sangat jelas positioning DPR. Di mana DPR harus berpijak dan di mana mereka harus berpihak.
Baca Juga
Konstitusi telah memberikan DPR banyak keistimewaan. Mereka punya kewenangan mengawasi pemerintah. DPR bahkan berhak untuk menanyakan dan mempermasalahkan semua program pemerintah.
Anggota parlemen juga dilindungi hak imunitas dan mengajukan interpelasi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Tak semua warga negara menikmati keistimewaan tersebut. Dari sisi itu, DPR sebenarnya sangat powerfull. Konstitusi telah memberikan segalanya bagi DPR untuk membela kepentingan rakyat.
Artinya jika semua patuh dan mau menerapkan konstitusi, istilah oposisi dan koalisi seharusnya tak pernah ada. Konstitusi Indonesia tak pernah mengenal istilah koalisi dan oposisi. Pembagian garis kekuasaan dalam konstitusi jelas. Mana yang menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Fenomena konsolidasi kekuasaan eksekutif di parlemen lewat pembentukan koalisi dan oposisi bukan saja telah menabrak prinsip-prinsip dalam mazhab demokrasi presidensiil, tetapi jelas inkonstitusional. Melanggar konstitusi!
Koalisi dan oposisi hanya dikenal dalam sistem demokrasi parlementer. Oposisi sejati, dalam prinsip demokrasi presidensiil, adalah DPR. DPR tunduk kepada konstitusi. DPR wajib membela kedaulatan rakyat. Mereka bukan petugas partai. Bukan pula kepanjangan kepentingan eksekutif.
Oleh karena itu pada usia ke 76 tahun, parlemen (DPR) sudah sepatutnya kembali kepada khitah-nya, parle atau berbicara. Para anggota DPR harus berani bicara menjadi oposisi bagi eksekutif. Tentu bicara atas nama kepentingan rakyat, karena suara rakyat, suara tuhan. Vox populi vox dei.