Bisnis.com, JAKARTA -- Gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali memang telah usai. Namun euphoria pelaksanaan hajat besar itu belum sepenuhnya berakhir. Celotehan dan pujian terkait G20 masih terdengar di sana sini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu sosok yang ramai dibicarakan di berbagai ruang dan media.
Suka atau tidak, G20 telah menjadi panggung bagi Jokowi. Dia tampil begitu luwes. Tak canggung untuk menyambut tamu negara, bahkan saat berhadapan langsung dengan penguasa dunia seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping.
Jokowi, seperti biasa, dengan gaya khasnya dan bahasa english with a Javanese accent, kalau menggunakan istilah dari Roeslan Abdulgani, 'berhasil' menjamu para tamu dan menaikkan gengsi Indonesia di level internasional.
Capaian ini adalah suatu prestasi yang perlu diapresiasi. Sebab, penampilan Jokowi di forum internasional sejatinya cukup langka. Apalagi jika dibandingkan dengan periode pertama dia memimpin Indonesia. Jokowi sangat jarang tampil. Saat ada acara di PBB, misalnya, dia selalu diwakili baik oleh Wakil Presiden waktu itu, Jusuf Kalla maupun Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Saking seringnya Jusuf Kalla mewakili presiden di forum internasional, Jokowi sempat menjadi bahan olok-olokkan kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019 lalu. Tim Kampanye Nasional (TKN) bahkan sampai harus bersusah payah menjelaskan tuduhan tersebut kepada publik.
Namun pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi jelas tampil beda. Dia berupaya menerobos batas-batas tersebut. Salah satu inisiatif Jokowi dalam bidang diplomasi adalah keputusannya untuk menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Baca Juga
Pertemuan antara Jokowi dengan Zelensky maupun Putin menjadi perbincangan dunia internasional. Jokowi adalah pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Ukraina usai dibombardir oleh Rusia. Misi Jokowi bertemu kedua kepala negara itu sangat mulia. Ingin menjambatani supaya konflik segera berakhir.
Kendati kemudian memunculkan pro dan kontra dan dituding tidak konsisten oleh sejumlah media Barat, kunjungan Jokowi tersebut menegaskan sikap Indonesia terhadap konflik yang sedang berkecamuk antara kedua negara serumpun tersebut.
Indonesia tidak pernah mengenal blok politik. Prinsip diplomasi Indonesia adalah bebas aktif. Sementara soal orientasi politik, Indonesia jelas merupakan salah satu inisiator gerakan negara-negara non-blok. Itu artinya pertemuan Jokowi dengan Zelensky dan Putin adalah cerminan dari prinsip diplomasi yang dianut oleh Indonesia. Tidak memihak ke kiri dan ke kanan.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mantan rival politik yang dulu pernah mengkritik habis Jokowi, bahkan memuji keberanian atasannya itu berkunjung ke Ukraina yang sedang dihujani roket dan rudal dari Rusia. "Padahal yang Kopassus aku, beliau bukan Kopassus, boleh juga wong Solo ini, luar biasa!" seloroh Prabowo dalam sebuah kesempatan.
Sepak terjang Jokowi dalam kancah diplomasi internasional semakin matang dalam forum G20 Bali yang berakhir beberapa hari lalu. Jokowi secara gestur tampil secara memukau. Dia benar-benar mampu menyedot perhatian khalayak.
Foto-foto pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin negara G20 diunggah di berbagai platform media sosial dan berhasil mendapat respons positif dari warganet.
Jokowi juga mendapat pujian karena mampu mendudukkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri dalam satu meja. SBY dan Mega duduk saling berhadapan dan menebar senyum dalam foto yang banyak beredar.
Padahal, seperti yang banyak diungkap sebelumnya, hubungan Megawati dan SBY sering digambarkan bagaikan air dan minyak. Sulit disatukan, bahkan mereka kerap diposisikan saling berlawanan. Mega dan SBY adalah bekas konco, yang telah menjadi rival politik.
Namun foto yang memperlihatkan keduanya duduk satu meja dalam suasana formal tapi santai, seolah menembus batas-batas tersebut. Nada-nada sumbang yang sebelumnya banyak bertebaran di ruang maya maupun nyata untuk sementara berhenti.
Para politisi baik dari pemerintah maupun yang kontra tak segan memberikan pujian terhadap sikap kenegarawanan SBY dan Mega. Politikus Partai Demokrat Syarief Hasan, misalnya, menyebut bahwa SBY telah melupakan apa yang terjadi pada masa lalu, termasuk pasang surut hubungannya dengan Megawati.
"Yang lewat ya sudahlah lewat. Tidak perlu diangkat lagi. Yang penting ke depannya lebih baik," ujar Syarief.
Sementara itu Ketua DPR Puan Maharani yang kebetulan berada dalam satu meja dengan kedua presiden tersebut mengatakan bahwa tidak ada pembahasan soal politik. Obrolan antara bekas atasan dan anak buah itu hanya seputar masalah kekeluargaan.
"Obrolan kekeluargaan, sudah lama tidak ketemu, ngapain saja sehat-sehat kah," ucap Puan.