Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai penyidikan terkait kasus proyek fiktif di PT Amarta Karya.
Sejumlah saksi dari petinggi BUMN karya itu sudah diperiksa tim penyidik lembaga antirasuah.
Kasus korupsi di KPK yang melibatkan nama BUMN karya bukan kali pertama terjadi. Beberapa kasus korupsi di perusahaan plat merah pernah diusut KPK.
Berikut adalah beberapa kasus korupsi di BUMN karya yang diusut oleh KPK:
Amarta Karya
KPK membuka penyidikan baru terkait kasus proyek fiktif pada PT Amarta Karya (Persero) tahun 2018 – 2020. Lembaga antirasuah sudah menetapkan tersangka dalam kasus proyek fiktif ini.
"Pihak yang kami tetapkan sebagai Tersangka akan kami umumkan pada saatnya nanti ketika penyidikan cukup dan akan disampaikan pada saat upaya paksa penangkapan maupun penahanan," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Ali mengatakan modus operadi dalam perkara ini terkait pelaksanaan proyek fiktif. Atas perbuatan tersebut timbul kerugian keuangan negara.
KPK sudah memeriksa sejumlah saksi mulai dari karyawan hingga petinggi Amarta Karya. KPK sudah menelisik mulai dari aliran duit hingga penunjukan subkontraktor untuk pengerjaan proyek fiktif.
Nindya Karya
Nindya Karya dan Tuah Sejati ditetapkan sebagai tersangka korporasi terkait kasus korupsi pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang 2006-2011.
Kedua korporasi diduga diperkaya dalam proyek senilai Rp794 miliar dan diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp313 miliar.
Penyimpangan yang diduga dilakukan yaitu penunjukan langsung Nindya Sejati Join Operation sebagai pelaksana pembangunan, rekayasa penyusunan HPS (harga perkiraan sendiri) dan penggelembungan harga, serta adanya kesalahan prosedur.
KPK menduga PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati menerima keuntungan sebesar Rp94,58 miliar dari proyek itu. Perinciannya, PT Nindya Karya sebesar Rp44,68 miliar dan PT Tuah Sejati sebesar Rp49,9 miliar.
Waskita Karya
KPK sempat mengusut korupsi subkontraktor fiktif di Waskita Karya. Kasus ini mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp186 miliar.
Perhitungan tersebut merupakan jumlah pembayaran dari perusahaan kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor pekerjaan fiktif tersebut.
Empat perusahaan subkontraktor tersebut diduga mendapatkan "pekerjaan fiktif" dari sebagian proyek-proyek pembangunan jalan tol, jembatan, bandara, bendungan, dan normalisasi sungai. Total terdapat 14 proyek terkait dengan pekerjaan fiktif tersebut.
14 proyek itu antara lain proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi, Jawa Barat; proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22, Jakarta; proyek Bandara Kualanamu, Sumatra Utara; proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang, Jawa Barat; proyek Normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1, Jakarta; proyek PLTA Genyem, Papua; dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1, Jawa Barat.
Selanjutnya, proyek fly over Tubagus Angke, Jakarta; proyek fly over Merak-Balaraja, Banten; proyek Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak), Jakarta; proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W 1, Jakarta; proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2, Bali; proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4, Bali, dan proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Adhi Karya
Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Dono Purwoko (DP) terlibat dalam perkara korupsi pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Minahasa, Sulawesi pada 2011.
Dono diduga telah menyerahkan sejumlah uang dari PT Adhi Karya kepada Dudy Jocom sebagai imbalan fee atas dilaksanakannya proyek dimaksud.
Akibat perbuatan Dono dan sejumlah rekannya mengakibatkan negara rugi sekitar sejumlah Rp19,7 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp124 miliar.