Bisnis.com, JAKARTA - Tidak sampai dua pekan setelah Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan yang memicu kontroversi pada 2 Agustus lalu, satu rombongan anggota parlemen AS kembali menemui pemimpin negara pulau itu pada Minggu (13/8/2022).
Seperti mengabaikan latar belakang hubungan AS-China yang semakin tegang dengan kunjungan Pelosi, delegasi yang dipimpin Senator Ed Markey itu juga dijadwalkan bertemu dengan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen sebagaimana yang dilakukan Pelosi. Padahal, baru saja China menggelar latihan militer untuk menggertak Taiwan sekaligus memberi peringatan kepada AS bahwa China tidak senang dengan kunjungan itu.
Alasan kemarahan China yang paling klasik atas kunjungan itu adalah karena negara tersebut mengklaim Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai salah satu provinsinya sendiri yang dulu memberontak.
Karena itu, tidak heran kalau spekulasi seputar kedua kunjungan itu berkontribusi pada suasana yang mengkhawatirkan. Banyak ahli dan analis memperingatkan akan muncul krisis berbahaya.
Lalu, apa yang perlu diketahui dari kedua episode kunjungan itu kepada kita tentang keadaan hubungan AS-China?
Andrew Scobel, seorang analis dari United States Institutes of Peace (USIP) mengatakan, bahwa setidaknya, ada tiga hal yang perlu dicermati mengapa langkah para politisi AS yang kontroversi itu begitu sensitif bagi hubungan AS-China.
Pertama, ujarnya, soal isu Taiwan yang strategis, namun kontroversial dalam hubungan antara Amerika Serikat dan China sejak dulu. Kedua, rasa bermusuhan yang kian kental jauh lebih mendominasi ketimbang sekadar kunjungan tokoh penting AS tersebut, katanya.
“Sedangkan yang ketiga adalah adanya titik kritis dalam hubungan AS-China sehingga membuka peluang Beijing ke jalur perang sungguhan,” ujarnya seperti dikutip situs web usip.org, Senin (15/8/2022).
Isu Sentral
Pada tahun 2022, Taiwan berubah menjadi ground zero dalam persaingan kekuatan besar yang kian meningkat antara Amerika Serikat dan China.
Pulau itu telah lama menjadi masalah yang paling diperdebatkan dalam hubungan AS-China dan telah menjadi lokasi terjadinya krisis selama tahun 1950-an sampai Presiden Richard Nixon berkunjung ke China pada tahun 1972.
Washington maupun Beijing kemudian sama-sma berupaya keras untuk mengelola masalah Taiwan sejak itu.
Bersikeras bahwa Taiwan adalah bagian dari China, Beijing menuntut agar Washington mengadopsi kebijakan "satu China" sebagai prasyarat untuk pemulihan hubungan kedua negara. Akan tetapi Pemerintahan AS kemudian mencoba untuk menghindari terlalu memusuhi China karena mereka secara bersamaan berusaha untuk memberikan dukungan berkelanjutan kepada Taiwan.
Hal itulah yang terjadi, ujar Scobel, sampai Washington dan Beijing menjalin hubungan diplomatik formal pada tahun 1979 dan Washington mempertahankan hubungan setingkat duta besar dengan Taiwan yang secara resmi diakui sebagai Republik China (bukan Republik Rakyat China), atau sejumlah media menyebutnya Republik China Taipei.
Setelah itu, Washington mempertahankan hubungan setengah-resmi dengan Taipei yang merupakan Ibu Kota Taiwan di bawah kerangka kreatif Taiwan Relations Act (TRA).
Meski sebagian besar orang Amerika Serikat memandang hubungan AS dengan Taiwan sebagai hal yang bijaksana dan positif selain memberikan stabilitas yang sangat dibutuhkan di Selat Taiwan, namun sebagian besar orang China menganggap sikap dan tindakan AS bertentangan dengan semangat “satu China”.
Dari perspektif Beijing, Washington telah mengabaikan isi dari tiga komunike yang disepakati antara AS dan China.
China berasumsi AS sedang bernegosiasi dengan itikad buruk. Sedangkan, dari sudut pandang Washington, komitmen AS tersebut memiliki syarat tertentu.
AS memperingatkan dalam arti bahwa semua Presiden AS tidak pernah mendukung posisi China, melainkan mereka hanya mengakuinya. Sedangkan bersyarat dalam arti bahwa Washington mengharapkan Beijing akan melakukan hubungan lintas selat secara damai dan tanpa paksaan.
Harapan itu secara eksplisit diartikulasikan dalam TRA: “perdamaian dan stabilitas di kawasan adalah kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi Amerika Serikat dan merupakan masalah yang menjadi perhatian internasional.
Selain itu, keputusan Amerika Serikat untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China bertumpu pada harapan bahwa masa depan Taiwan akan ditentukan dengan cara damai.