Wali Kota London
Tahun 2005, dia kembali ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Tinggi bayangan. Citra dirinya sebagai politisi kian membaik, sehingga dipercaya menjadi Wali Kota London pada tahun 2008.
Mundur dari parlemen, dia kembali menjabat sebagai Wali Kota London peridode kedua pada tahun 2012.
Sejumlah kritikus menilai Boris memiliki ambisi politik yang hanya mementingkan promosi pribadi, bukan terlibat dalam pekerjaannya.
Namun, dia justru kembali mencalonkan diri pada tahun 2016 dengan sosok pemimpin yang dikenal sebagai juru bicara terkemuka untuk kampanye "Tinggalkan". Hal ini terkait dengan pemilihan referendum nasional soal keikutsertaan Inggris dalam Uni Eropa (UE).
Dia bersaing dengan Cameron, sosok pendukung Inggris di UE. Proses pemilihan tersebut diikuti dengan kecaman bahwa upaya UE untuk menyatukan Eropa sama dengan apa yang dilakukan Napoleon I dan Adolf Hitler.
Namun, saat referendum, sekitar 52 persen memilih Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa. Dengan begitu, Cameron mendungurkan diri sebagai perdana menteri.
Lewat sejumlah konflik internal dengan sekutunya, Boris Johnson dinilai tidak dapat memberi kepemimpinan untuk membangun negara dan tugas ke depannya.
Namun, dalam sebuah pemilihan Pemimpin Partai Konservatif, dia ditunjuk menjadi Perdana Menteri Inggris dari 10 kandidat yang maju pada 23 Juli 2019.
Dalam pemilihan tersebut, dia mengikrarkan janjinya untuk menyelesaikan proses negosiasi negaranya keluar dari Uni Eropa atau Brexit. Boris juga menyanggupi negosiasi lanjutan dengan Uni Eropa terkait kerja sama setelah Inggris hengkang.
Kini, di balik upayanya mempertahankan karier di pemerintahan, Boris kian terpojok akibat sejumlah skandal yang membelitnya.
Krisis kepemimpinan Johnson saat ini mungkin menjadi yang paling parah. Dia terbelit dalam berbagai skandal mulai dari pelanggaran lockdown saat pandemic Covid-19, mengeluarkan biaya renovasi Downing Street, dan lainnya.
Puncaknya adalah puluhan menteri dan pejabat kepemimpinannya mundur dan membuat Boris terpojok.