Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Niat Salat Ghaib dan Tata Caranya untuk Jenazah yang Hilang

Niat Salat Ghaib Shalat Ghaib memiliki hukum yang sama dengan shalat jenazah yang ada di tempat, yakni fardhu kifayah. Artinya, salat Ghaib cukup untuk menggugurkan kewajiban shalat jenazah, dengan catatan diketahui secara nyata bahwa ada orang yang telah melakukannya.
Ilustrasi seorang pria sedang melaksanakan ibadah salat/Freepik
Ilustrasi seorang pria sedang melaksanakan ibadah salat/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Salat Ghaib adalah salat yang dilakukan untuk menyolatkan muslim yang diyakini telah meninggal dunia di tempat yang jauh atau di tempat yang tidak terjangkau, sehingga siap dilaksanakan salat baginya.

Mengutip NU Online, niat Salat Ghaib Shalat Ghaib memiliki hukum yang sama dengan shalat jenazah yang ada di tempat, yakni fardhu kifâyah. Artinya, salat Ghaib cukup untuk menggugurkan kewajiban shalat jenazah, dengan catatan diketahui secara nyata bahwa ada orang yang telah melakukannya.

Untuk niatnya, dapat diklasifikasi tergantung jenis kelamin, jumlah jenazah dan status mushalli-nya apakah menjadi imam, makmum, atau shalat sendiri.

Bila jenazahnya laki-laki maka lafal niatnya adalah: 

Ushallî ‘alâ mayyiti (fulân) al-ghâ-ibi arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.  

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”  

Bila jenazahnya perempuan, maka lafal niatnya adalah:   

Ushalli ‘ala mayyitati ‘fulanah’ al-ghaibati arba’a takbiratin fardhal kifayâti imaman/ma’muman lillahi ta’ala.  

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”  

Bila jenazahnya adalah dua laki-laki/satu laki-laki dan satu perempuan/dua perempuan, maka lafal niatnya:   أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَيْنِ/مَيِّتَتَيْنِ (فُلَانٍ وَفُلَانٍ-فُلَا

Ushallî ‘alâ mayyitaini/mayyitataini ‘Fulânin wa Fulânin—Fulân wa Fulânah/Fulanâh wa Fulânah’ al-ghaibaini/al-ghaibataini arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.  

Artinya, “Saya menyalati dua jenazah ‘Si Fulan dan Si Fulan/Si Fulan dan Si Fulanah/Si Fulanah dan Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”  

Bila jenazahnya banyak, misalnya korban bencana alam yang menimpa satu desa, maka lafal niatnya adalah:

Ushallî ‘alâ jamî’i mautâ qaryati kadzâl ghaibînal muslimîna arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.  

Artinya, “Saya menyalati seluruh umat muslim yang jadi korban  di desa ‘...’ (sebutkan nama desanya) yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”  

Namun, bila dirasa sulit menghafalkan teks arabnya, kita boleh menggunakan terjemahnya baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah masing-masing.  

Syarat Sah Shalat Ghaib Syarat sah shalat Ghaib selain syarat-syarat pada umumnya, setidaknya terangkum dalam dua hal berikut:  

Pertama, jenazah berada di luar daerah yang jauh dari jangkauan, atau di tempat yang dekat namun sulit dijangkau. Karena itu, jika masih berada dalam daerah, walaupun jauh dan tak sulit dijangkau, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib. Demikian pula kalau jenazahnya berada di batas daerah, dan kita dekat dengan tempat tersebut, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib.  

Kedua, telah mengetahui atau menduga kuat bahwa jenazahnya sudah dimandikan. Kalau tidak, maka shalat Ghaibnya tidak sah. Namun, bila ia menggantungkan shalat Ghaibnya dengan sucinya jenazah tersebut (bahwa telah dimandikan), shalatnya dihukumi sah. Misalnya, dalam niat ia mengatakan, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan’... dan seterusnya, dengan catatan di sudah suci atau sudah dimandikan ...” maka shalatnya juga sah.  

Rukun Shalat Ghaib Rukun shalat Ghaib tak ada bedanya dengan rukun shalat jenazah pada umumnya. Sebab yang membedakan keduanya hanyalah soal ada dan tidak ada jenazah di hadapannya. Berikut ini tujuh rukun shalat Ghaib yang harus dilakukan:  

Pertama, berniat, seperti umumnya shalat yang lain dengan pilihan redaksi di atas.  

Kedua, berdiri bagi yang mampu, dan bila tak mampu, boleh shalat dengan cara yang dimampuinya.  

Ketiga, membaca empat takbir termasuk takbiratul ihram. Bila lebih dari empat, baik sengaja maupun tidak, shalatnya tetap sah. Terpenting ia tak meyakini bahwa menambah bacaan takbir itu membatalkan, atau dalam pengulangan bacaan takbir ia tak mengangkat tangannya sebagaimana empat takbir sebelumnya. Jadi, jika diyakini membatalkan, atau seiring menambah bacaan takbir juga mengangkat tangan, maka shalatnya batal.  

Keempat, membaca surat al-Fatihah, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Amarana Rasûlullâhi shalallâhu ‘alaihi wasallam an naqra‘a bi fâtihatil kitâb ‘alâ janâzah" (Rasulullah saw memerintahkan kami membaca surah al-Fatihah saat shalat jenazah). (HR Ibnu Majah).  

Kelima, membaca shalawat kepada Nabi saw setelah takbir kedua. Minimal dengan membaca, Allahummâ shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad. Namun yang paling sempurna adalah membaca shalawat Ibrahimiyah yang biasa dibaca saat tasyahud akhir dalam shalat.  

Keenam, membaca doa untuk jenazah setelah rakaat ketiga. Berikut doa Rasulullah saw yang diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik ra:   Allahummagfir lahû warhamhû wa’fu ‘anhû wa’âfihî wa akrim nuzulahû wa wassi’ madkhalahû waghsilhu bi mâ‘in wa tsaljin wa baradin wa naqqihi minal khathâyâ kamâ yunaqqast tsaubul abyadhu minad danas wa abdilhu dâran khairan min dârihî wa ahlan khairan min ahlihî wa zaujan khairan min zaujihî waqihî fitnatal qabri wa ‘adzâbin nâr.  

Artinya, “Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah ia, maafkanlah dan berilah ia keafiatan (nasib ukhrawi yang baik), muliakanlah tempatnya, lapangkanlah jalurnya, basuhlah ia dengan air surgawi yang sejuk nan segar, bersihkanlah ia dari noda-noda kesalahan laiknya baju putih yang kembali mengkilap setelah dibersihkan dari kotoran dan noda, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih indah, keluarga dan pasangan yang lebih baik, lindungilah ia dari fitnah kubur dan siksa neraka.”  

Ketujuh, membaca salam setelah takbir keempat. Namun, setelah takbir dan sebelum salam, disunnahkan membaca doa berikut: “Allâhumma lâ tahrimnâ ajrohû walâ taftinnâ ba’dahû wagfir lana walahû” (Ya Allah, janganlah engkau jadikan kami penghalang pahalanya, dan janganlah biarkan kami dalam ajang fitnah, umpatan atau buah bibir setelah ini semua, dan ampunilah kami dan dia). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper