- “Ooo Ema Presiden da Maku
Ema Presiden da Maku
Maku ba dhu maru...
Ooo Ema Presiden da bhuli
Ema Presiden da bhuli
Bhuli ba dhu sia...
Kau da baga dhapi sau way kasa
Wi idi go dhiji bhay dhapi go dara
Maki Ngada sewolo mala
Hoga hama... Laba.”
Maknanya dalam. Kira-kira begini. “Bapak Presiden yang agung juga mulia, Bapak datang dengan membawa sebilah parang adat yang Bapak letakkan di pundak sebagai simbol tugas, tanggung jawab, serta jabatan kehormatan. Bapak datang membawa berkat bagi kesuksesan di semua sektor kehidupan. Bapak datang membawa cahaya gemerlapan cinta serta sukacita yang mendamaikan hati dan kasih sayang bagi seluruh masyarakat Kabupaten Ngada. Terima kasih Bapakku tercinta. Semoga berkenan…”
Pekikan ‘Sa Ngaza’ itu berkumandang pada Rabu (1/6) siang. Tepat pada Hari Kesaktian Pancasila. Di Bandara Soa. Tempat Presiden Joko Widodo menginjakkan kaki pertama kali di Kabupaten Ngada. Dalam catatan sejarah, Jokowi adalah Presiden pertama RI yang berkunjung di Ngada.
‘Sa Ngaza’ bukan sapaan biasa. Dalam konteks budaya masyarakat Ngada, ‘Sa Ngaza’ merupakan ritual penyambutan sekaligus penghormatan terhadap seseorang yang pantas dan layak dihormati.
Kunjungan Presiden di Ngada memang telah dinanti sejak lama. Keriuhan telah terjadi sepekan, bahkan dua pekan sebelumnya. Semua menanti.
Kedatangan Jokowi di Ngada sebenarnya rangkaian dari kunjungan Presiden ke tiga wilayah di NTT. Ende & Ngada (Pulau Flores) dan Sumba Timur (Pulau Sumba). Di Ende, tanah kelahiran Pancasila, Jokowi memimpin upacara Hari Lahir Pancasila.
Sebagai daerah yang belum pernah dikunjungi Presiden sama sekali, momen kali ini memang terasa sangat spesial bagi masyarakat Ngada. Dalam potongan video yang marak beredar di media sosial, jelas terlihat lautan manusia. Di mana ada Presiden, di situ lautan manusia terbentuk.
Mereka berlarian mengejar mobil Presiden, lalu berteriak-teriak memanggil sang Presiden. Tak sedikit yang tersandung atau tersungkur di jalanan. Berhadapan dengan tindak tegas Paspampres. Terjadi saling dorong.
Demi melihat Presiden dan Ibu Negara, ada pula yang rela memanjat atap rumah. Ataupun menaiki dagangan orang. Sikut-sikutan menjadi hal yang biasa. Hanya demi bersalaman, berfoto, atau berpapasan dengan Presiden.
Pemandangan yang sama pun terjadi di Ende dan Sumba Timur. Pekikan bahagia dikunjungi Presiden lantang terdengar di sana-sini. Lagi-lagi, lautan manusia tak terbendung. Semua merayakan kegembiraan bersama Sang Presiden.
Presiden Jokowi berdiri di sekitar pohon sukun yang rindang. Biasanya Presiden pertama RI, Soekarno kerap datang dan duduk untuk berkontemplasi di bawah pohon sukun, pada masa-masa pengasingannya di Ende, sebelum kemerdekaan./Instagram
Memang hampir tidak pernah ada yang merasa ditolak di Flores. Setiap kali kunjungan ‘orang penting’ ke Flores, seburuk apapun citra mereka di luar sana, selalu tidak pernah ada yang merasa gagal diterima. Bahkan, kepada mereka yang hanya ingin melancong, sekadar menikmati pulau yang terberkati dengan keindahan itu, akhirnya jatuh cinta dengan Flores.
Flores sesungguhnya adalah rumah betah bagi orang asing, yang datang seperti ke rumahnya sendiri, minum dari cangkir yang diberi obat penawar perdamaian. Setiap orang yang singgah akan mabuk dengan keramahtahaman, dan mereka akan pulang membawa berbakul-bakul sukacita.
Flores dilahirkan dengan keberanian dan kerendahan hati untuk menerima berbagai perbedaan. Ada sembilan Kabupaten di pulau yang hanya seluas 13.500 kilometer persegi tersebut, lebih dari lima rumpun bahasa yang melahirkan beragam bahasa daerah, dan tidak terhitung jumlah sukunya. Setiap daerah, bahkan sukunya memiliki kekhasan budaya, tradisi, dan bahasanya masing-masing.
Mengunjungi Flores, sama halnya dengan mendatangi rahimnya pluralisme. Dalam artinya yang sebenarnya, pluralisme selalu hadir dengan apresiasi atas kemanusiaan, yang melihat lekuk-lekuk perbedaan sebagai kekayaan yang menghasilkan banyak keindahan.
Dan, keindahan itu tumpah dalam tarian, nyanyian, puisi, drama, seperti keindahan dan kesaktian Pancasila yang lahir dari Soekarno di bawah pohon sukun, di Ende.
***
Sepekan sebelumnya, Rabu (25/5). Di Nasdem Tower. Surya Paloh bertemu dengan pemimpin redaksi media massa. Tentu saja menjadi pertemuan yang dinantikan. Di tengah perkembangan perpolitikan Tanah Air akhir-akhir ini. Di tengah munculnya berbagai pertanyaan, siapakah calon presiden (capres) yang bakal diusung oleh partai tersebut?
Banyak pertanyaan yang merujuk ke sana. Meski selalu dijawab politis oleh Surya Paloh. Kendati diumpan dengan pertanyaan lainnya, yang ujung-ujungnya tentu saja merujuk ke capres besutan Nasdem, jawaban masih tetap sama.
Alih-alih menyebut nama, walaupun sebetulnya tersirat pula dalam diskusi santai setelah pertemuan itu, Surya Paloh justru menekankan pada hal lain dalam pertemuan hari itu. Sebuah pesan kuat yang kerap disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Nada risau terungkap dengan jelas, meski lantang disuarakan, khas gaya berorasi Surya Paloh. Hari ini, tegas Surya Paloh, kita semua masih risau dengan politik identitas. Realita itu tak terbantahkan lagi. Terlihat dengan jelas. Di sekitar kita.
Kerisauan akan politik identitas ini kian diperparah pula oleh kesombongan-kesombongan intelektual yang mengemuka. Alhasil, sampai saat ini kita belum mampu melaksanakan proses pendidikan politik yang lebih baik bagi negeri ini.
Kondisi ini kian diperparah lagi karena semua sibuk bertempur dengan ego sektoral, etnis ataupun kesukuan, lalu tenggelam pada perbedaan.
Dalam situasi ini, konsolidasi kekuatan—yang harusnya dilakukan oleh semua pihak—pun tidak terjadi. Semua sibuk menghimpun kekuatannya sendiri. Demi kepentingannya sendiri.
Padahal, Indonesia yang kita pahami dan kita kenal sebagai negeri yang kaya dan plural seharusnya menjaga seluruh sisi dan nilai yang dimiliki.
Kearifan lokal, adat istiadat, budaya yang dimiliki seharusnya menjadi modal dasar yang harus dipertahankan.
“Jangan hanya karena satu proses modernisasi dan teknologi, kita kehilangan otentiknya Indonesia. Kita harus berhati-hati dengan model dan sistem demokrasi yang super liberal yang kita miliki hari ini,” tegas Surya Paloh. Berapi-api.
Lalu, siapa yang akan dijagokan oleh Nasdem sebagai capres? Surya Paloh masih enggan menjawab. Yang pasti, siapa pun nantinya yang akan diusung, orang itu adalah orang terbaik di antara yang terbaik. Yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan. Yang mampu menjaga pluralisme.
***
Hari-hari belakangan ini, genderang politik mulai ditabuh. 2024 Memang masih jauh. Akan tetapi, upaya konsolidasi sudah mulai terlihat. Meski masih samar-samar. Ataupun malu-malu.
Kerisauan pun makin mendera. Khawatir akan terjebak pada polarisasi yang tak perlu. Yang berujung pada perpecahan.
Ini bukan ketakutan yang dibuat-buat. Ini nyata. Becermin dari pengalaman yang sudah-sudah. Dipisahkan atau terasingkan karena perbedaan pendapat ataupun pilihan.
Sampai sejauh ini, kita telah berhasil menghadapi badai Covid-19 bersama-sama. Dalam satu kekuatan besar. Namun, di ujung pencapaian ini—meski belum sepenuhnya bebas merdeka dari Covid-19—kita seolah dihadapkan pada tantangan baru. Yang bisa saja membawa kita ke perpecahan.
Padahal, sudah banyak yang kita capai. Saat ini, perekonomian Indonesia telah berada pada jalur yang benar. Pada kuartal I/2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen (year-on-year). Angka ini melampaui pertumbuhan negara lainnya, seperti China, Amerika Serikat dan sejumlah negara Asean lainnya.
Ini angin segar bagi kita semua. Perlahan tapi pasti, roda ekonomi kita berputar makin kencang. Namun, tantangan besar masih mengadang. Salah satunya, tren inflasi tinggi yang kini mendera sejumlah negara lainnya.
Sejauh ini, angka inflasi bulanan masih terkendali. Akan tetapi, kenaikan harga energi dan pangan akibat ketegangan politik Rusia-Ukraina dan gangguan rantai pasok perdagangan, akan memberi tekanan tersendiri bagi inflasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Inflasi tinggi—yang diperkirakan pemerintah berada di atas 4 persen pada akhir tahun ini—tentu saja akan menekan ekonomi nasional.
Ibarat lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Inilah gambaran yang bisa terjadi pada kita. Lepas dari pandemi Covid-19, tetapi masuk ke tantangan baru perekonomian nasional.
Ya. Butuh konsolidasi kekuatan dalam situasi seperti ini. Yang mempersatukan, bukan menceraiberaikan. Pluralisme dan kemajemukan yang memperkuat kita. Bukan malah sebaliknya. Terjebak pada perbedaan pilihan ataupun kerisauan kita akan identitas politik masing-masing.
Di atas segalanya, kita butuh ketenangan batin. Yang damai di ‘rumah sendiri.’ Yang tak ketakutan menyinggahi pelosok manapun. Yang betah untuk bermain dan bercengkerama dengan siapa pun.
Sebab, ekonomi yang gagah perkasa, akan jauh lebih kukuh, bila datang dari fondasi masyarakat yang harmonis dan selaras. Pada masyarakat yang mengepakkan Garuda lebih kencang, sambil tetap berpegang pada Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia, harga mati untuk rumah kita bersama!