Bisnis.com, JAKARTA- Presidensi G20 oleh Indonesia merupakan momen penting untuk membahas strategi penguatan sektor kesehatan dan digitalisasi bagi pembangunan masa depan bangsa-bangsa. Pengalaman pandemi Covid-19 telah membuka pemahaman seluruh pihak untuk mengakselerasi dua sektor vital tersebut.
“Jadi G20 ini seharusnya mempertajam komitmen bersama untuk memajukan industri kesehatan, karena semua mau adil dan merata. Karena perlu kolaborasi, baik dari sisi pendanaan, standardisasi, SDM, hingga keterlibatan pemerintah maupun kontribusi global,” kata John Riady, Direktur Eksekutif Lippo Group, dari siaran pers pada Minggu (27/3/2022).
Mengutip data survei World Economic Forum (WEF), John mencatat terdapat tiga risiko yang paling merisaukan bagi kalangan pebisnis. Pertama yakni tingkat penyebaran infeksi penyakit secara global, mengingat saat ini interaksi telah semakin intensif antar negara. “Pola ini memungkinkan adanya krisis kesehatan yang bisa memicu krisis multidimensi lainnya.”
Hal ini berkaitan dengan risiko tentang krisis sumber pendapatan bagi masyarakat. Konektivitas global yang niscaya menyimpan ancaman berupa ketimpangan sumber daya manusia dan sumber pertumbuhan ekonomi yang mampu membuka lapangan pekerjaan.
Kedua, krisis iklim. Perubahan ekstrim terhadap iklim mempengaruhi produktivitas pangan, hingga menyebabkan krisis lingkungan lainnya, serta memunculkan berbagai bencana alam. Ketiga, keamanan siber. Digitalisasi yang memudahkan ternyata rentan gangguan dan berdampak cepat secara luas.
Menurut John, ketiga risiko besar yang dikhawatirkan para pengusaha itupun saat ini mendapatkan panggung pembahasan dalam forum G20, di mana Indonesia yang menjadi presidensi. “Hal ini merupakan momentum bagi Indonesia mengajak seluruh pemangku kepentingan global untuk membangun masa depan yang lebih baik, karena G20 mewakili 60 persen populasi dunia, 80 persen PDB global.”
Baca Juga
Menurut John, pada risiko pertama yang paling merisaukan mengharuskan kerja sama global maupun pemerintah dan swasta untuk memperkuat sektor kesehatan. Terlebih lagi, lanjutnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga telah menyerukan adanya arsitektur baru kesehatan dunia.
“Arsitektur itu dimaksudkan agar kerja sama dalam peningkatan kualitas, standardisasi, hingga pendanaan bisa dikerjasamakan secara global. Saya nilai untuk ukuran negara dengan populasi produktif yang cukup tinggi, Indonesia terbilang masih tertinggal dalam belanja kesehatan,” tuturnya.
Hal ini, lanjutnya, erat kaitannya dengan tingkat ekonomi masyarakat. Kurang dari 3,1% PDB untuk belanja kesehatan, rasio ranjang rawat hingga jumlah tenaga kesehatan dan dokter, masih tertinggal juga.
Karena itu, menurutnya, butuh keterlibatan yang luas dari seluruh pihak untuk meningkatkan sektor kesehatan. “Ini sektor strategis, di mana saat pandemi ini kita lihat ketahanan sektor kesehatan yang hampir jebol, sedangkan pembangunan manusia ke depan juga tidak terlepas dari sektor kesehatan. Industri kesehatan harus diperkuat baik dari sisi investasi maupun tenaga profeisonalnya.”
Sejauh ini, sektor industri kesehatan salah satunya rumah sakit tengah memperkuat fondasi untuk memperluas layanan kepada masyarakat. Sebagai contoh, emiten-emiten rumah sakit tengah berencana menganggarkan belanja modal yang besar untuk membangun fasilitas baru maupun penambahan ranjang.
Misalnya, RS Siloam International Tbk. (SILO) yang masih bagian dari Lippo Group, akan terus mengembangkan fasilitas layanan rumah sakit. Meskipun telah memiliki 41 rumah sakit di 23 kota, SILO akan tetap berekspansi.
Begitupun emiten lainnya seperti PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA) berencana membangun tiga rumah sakit baru pada tahun ini. Hal yang sama juga dilakukan PT Medikaloka Hermina Tbk. (HEAL) berkomitmen membangun dua rumah sakit dalam waktu dekat.
“Dengan melihat geliat ini, terdapat upaya pemerataan layanan kesehatan yang digagas pihak swasta. Untuk itu perlu sinergi juga agar ekspansi yang dilakukan swasta juga mampu terealisasi, kan juga butuh bantuan pemerintah dari sisi penyiapan pendidikan tenaga kesehatan hingga perizinan,” kata John.
Selain itu, dia menilai ada banyak emiten yang kini berasal dari pemain industri kesehatan terutama pemilik jaringan rumah sakit merupakan hal sangat positif. Sebagai perusahaan terbuka, selain teruji dalam hal transparansi, para emiten rumah sakit inipun mengharapkan agar mampu menggalang pendanaan dari bursa, baik dari investor di dalam maupun luar negeri.
Isu krusial lainnya dalam momentum G20 ini adalah proyek digitalisasi. Dua risiko terbesar yang dikhawatirkan seperti disurvei WEF adalah keamanan siber dan krisis iklim.
John menilai resiko keamanan siber dapat diatasi sembari mengembangkan dan mengoptimalkan ekosistem digital. Pertama, simpulnya, pengembangan dan optimalisasi digital mendorong kesempatan yang luas dalam pembukaan lapangan kerja termasuk pakar keamanan siber sekaligus memonetisasi potensi sektor informal, serta munculnya kebutuhan profesi baru bagi generasi muda.
Selain itu, arah pengembangan ekonomi digital kelak akan menolong Indonesia berkompetisi dalam pasar yang ditentukan oleh kemajuan teknologi informasi seperti sekarang. “Indonesia merupakan negara dengan unicorn terbanyak di Asean, dengan valuasi yang tumbuh sangat cepat,” kata John.
Peranan ekonomi digital ini, jelasnya, bisa diarahkan sebagai motor pertumbuhan baru. Selama ini, pertumbuhan ekonomi nasional disokong oleh sektor komoditas dan pertambangan yang semakin lama menghadapi banyak ganjalan karena dituduh sebagai penyebab rusaknya lingkungan dan perubahan iklim.