Bisnis.com, JAKARTA - Sya'ban merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah swt. Di bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah swt, baik dengan dzikir, membaca Al-Qur'an, ataupun puasa.
Namun, Mazhab Syafi'i melarang puasa setelah nisfu (pertengahan) Sya'ban, mulai tanggal 16 hingga tanggal 29 atau 30.
Mengutip nu.or.id, ada dua pandangan yang melatari keharaman puasa di tanggal-tanggal tersebut. Pertama, hari-hari setelah nisfu Sya`ban merupakan hari syak atau hari keraguan mengingat sebentar lagi akan menginjak bulan Ramadhan. Hal ini dikhawatirkan orang yang berpuasa setelah nisfu Sya`ban tidak sadar bahwa sebenarnya sudah memasuki bulan Ramadhan.
Adapun pendapat kedua menyebutkan bahwa hari-hari itu merupakan waktu yang bisa digunakan untuk persiapan menjalani puasa di bulan Ramadhan.
Namun, keharaman puasa di tanggal tersebut tidak berlaku bagi enam orang, yakni mereka yang biasa melakukan (1) puasa dahr (puasa setahun penuh), (2) puasa Senin dan Kamis, (3) puasa Daud (sehari buka sehari puasa), (4) puasa nadzar, (5) puasa qadha, dan (6) puasa kafarat. Syarat puasa di tanggal tersebut telah melaksanakan puasa sebelum Nisfu Sya'ban.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Wahbab al-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu dimana Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah nisfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahr, puasa daud, puasa senin-kamis, puasa nadzar, puasa qadha’, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarah, dan melakukan puasa setelah nisfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari nisfu Sya’ban."
Baca Juga
Pandangan tersebut didasarkan pada satu hadits berikut. ‘Apabila telah melewati nisfu Sya’ban janganlah kalian puasa’. Hadis ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hanbali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad dhaif.”
Meskipun demikian, tidak semua ulama mengharamkan puasa setelah nisfu Sya'ban. Hal ini disebabkan hadits di atas oleh selain Madzhab Syafi'i dianggap dhaif atau bahkan mungkar mengingat adanya perawi yang bermasalah.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari berikut.
“Mayoritas ulama membolehkan puasa sunnah setelah nisfu Sya’ban dan mereka melemahkan hadis larangan puasa setelah nishfu Syaban. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan hadis tersebut munkar."