Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hubungan PBNU-PKB: Gus Yahya Berang, Cak Imin Menjawab

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar memastikan antara PKB dengan PBNU tidak ada masalah apapun.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin)./Antara
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin)./Antara

PKB dan NU Baik-baik Saja

Cak Imin Menjawab

Di sisi lain, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar memastikan antara PKB dengan PBNU tidak ada masalah apapun.

Menurut Muhaimin, hubungan antara PBNU dan PKB masih hangat dan baik-baik saja sampai saat ini. 

Muhaimin menjelaskan jika ada yang menyebut bahwa PKB dan PBNU memiliki masalah sejak PBNU dipimpin oleh KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, maka hal tersebut dipastikan tidak benar.

"Itu salah informasi saja kalau ada yang mengira seperti itu, sampai saat ini PBNU dan PKB baik-baik saja," tuturnya di Gedung DPR, Rabu (16/2/2022).

Muhaimin mengakui PKB lahir dari organisasi NU, sehingga PKB tidak bisa terlepas dari organisasi NU. Dia juga berharap organisasi NU bisa dicintai dan diterima oleh semua kelompok di Indonesia.

"Kita juga kan harus beri kesempatan agar NU ini dicintai semua partai, jadi tidak PKB saja. Semoga ke depan NU diterima oleh semua kelompok," kata Muhaimin.

NU dan Politik

Sejarah persinggungan NU dan politik sejatinya telah begitu mengakar dan berlangsung selama puluhan tahun.

Pada dekade 1950-an, misalnya, NU yang semula bagian dari Masyumi, resmi menjadi partai politik mandiri. NU sebagai parpol bahkan ikut dalam kontestasi Pemilu 1955.

NU kemudian berubah menjadi kekuatan politik yang mapan. Peran NU bahkan semakin dominan ketika Masyumi dibekukan karena elitnya terlibat dalam gerakan PRRI di Sumatra Barat.

Tumbangnya Masyumi menjadikan NU sebagai poros utama 'politik' Islam pada saat itu. Puncaknya, ketika persinggungan politik aliran semakin kuat pada dekade 1960-an, NU mampu tampil sebagai kekuatan penyeimbang kubu komunis.

NU adalah kekuatan politik islam yang menerima konsep penyatuan ideologi ala Soekarno dalam bentuk Nasionalis, Agama, dan Komunis atau Nasakom.

Keputusan NU untuk menerima Nasakom dari perspektif politik tentu bisa dimaklumi. Sebab, jika NU memilih menarik diri, seperti yang dilakukan kekuatan politik lainnya, Soekarno akan ditinggal sendiri dan negara akan jatuh ke kelompok kiri. Dan jika itu terjadi, NU bisa bernasib sama dengan Masyumi.

Situasi politik kemudian berbalik ketika pecah peristiwa 1965. NU yang antikomunis tampil di garis depan. Para santri dan unit paramiliternya menjadi kekuatan pemukul paling efektif dalam menghancurkan pengikut komunis di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Konon, sekitar 500.000 sampai 3 juta orang 'komunis' menjadi tumbal pertarungan politik waktu itu. Soekarno yang sudah kadung mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup tumbang. Orde Baru kemudian lahir dari keacauan politik paling berdarah dalam sejarah politik kontemporer tersebut.

Sayangnya bulan madu antara Orde Baru dan NU hanya sebentar. Orde Baru yang militeristik berubah menjadi kekuatan menindas. Jenderal Soeharto, penguasa Orde Baru mengedepankan stabilitas dibanding demokrasi. Kemerdekaan kemudian dibungkam. Organisasi politik disatukan ke dalam tiga golongan. 

Golongan Islam yang sebelumnya memiliki banyak kendaraan politik seperti NU, PSII, Perti, dan Parmusi dipaksa bergabung ke dalam PPP. Sementara yang golongan nasionalis dan golongan politik non Islam dipaksa bergabung ke PDI.

Satu-satunya golongan non-parpol, tetapi memiliki pengaruh politik yang cukup kuat dalam politik ala Orde Baru adalah Golongan Karya alias Golkar. Golkar adalah mesin politik yang menjadi penopang kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Namun rupanya, represi Orde Baru terhadap demokrasi tak hanya berhenti pada pengkerdilan organisasi politik. Upaya untuk mengontrol kehidupan sosial politik semakin kuat. Pertentangan antara golongan agama dan negara mencapai puncaknya ketika penguasa Orde Baru, Soeharto, menerapkan azas tunggal Pancasila.

Sontak rencana itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Golongan islam politik tidak setuju dengan gagasan pemerintah tersebut.

Di sisi lain, upaya pemaksaan ideologi tersebut kemudian melahirkan sedikit kegundahan bagi kekuatan Islam, seperti NU. Ada dua perdebatan yang cukup kuat waktu itu, pertama menerima Pancasila dengan konsekuensi menihilkan Syariat Islam. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas tunggal yang berarti akan berhadapan dengan negara.

Di tengah kegamangan tersebut, NU kemudian menggelar Musyawarah Nasional di Situbondo pada tahun 1983. Waktu itu, lahirlah konsep NU kembali ke Khittah. Khittah artinya tujuan dasar. Kembali ke Khittah artinya kembali ke sangkan paraning dumadi NU. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper