Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus dugaan keterlibatan oknum TNI dalam kasus korupsi proyek pengadaan satelit Slot Orbit 123° bujur timur (BT) pada Kementerian Pertahanan Tahun 2012.
Hal ini mengindikasikan bahwa proyek yang digagas pada masa Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tersebut menjadi bancakan pihak sipil dan oknum militer.
Adanya nama oknum TNI dalam kasus tersebut bermulda dari gelar perkara yang dilakukan penyidik Kejaksaan. Gelar perkara tersebut diikuti oleh pejabat di lingkungan kejaksaan, TNI maupun Kementerian Pertahanan.
"Bahwa berdasarkan hasil materi paparan Tim Penyidik, disimpulkan terdapat 2 (dua) unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan unsur Sipil," kata Jaksa Agung RI Sanitar Burhanuddin dikutip, Selasa (15/2/2022).
Dengan adanya unsur TNI ini, Kejagung akan menangani perkara ini secara koneksitas. Pihak Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) akan berkoordinasi dengan POM TNI dan Babinkum TNI.
Jaksa Agung berharap Tim Penyidik Koneksitas segera dapat menetapkan tersangka dalam perkara dimaksud.
Baca Juga
Kerugian Negara
Di sisi lain, Kejagung memperkirakan kerugian negara akibat kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 bujur timur mencapai Rp515,2 miliar.
Adapun, potensi kerugian negara itu terjadi karena pihak pemerintah tidak melaksanakan proyek tersebut. Padahal proses pengadaan sudah ditandantangani sejak tahun 2015 silam.
Kontrak dilakukan dengan pihak Airbus dan perusahaan Navayo. Namun yang menjadi masalah adalah jaksa menemukan ada beberapa perbuatan melawan hukum. Salah satunya adalah proyek tersebut tidak direncanakan dengan baik.
Menurut pihak kejaksaan, saat kontrak pengadaan satelit, proses penganggarannya belum tersedia di Kemenhan untuk tahun 2015.
Selain itu saat menyewa satelit Avanti Communications ltd, seharusnya negara tidak juga perlu melakukan sewa.
Alasannya adalah masih ada waktu 3 tahun untuk dapat digunakan saat satelit yang lama tidak berfungsi. Jadi berdasarkan ketentuan masih ada tenggang waktu.
Akan tetapi tetap juga dilakukan penyewaan sehinggga Kejagung melihat ada perbuatan melawan hukum. Satelit yang disewa pun tidak dapat berfungsi dan spesifikasinya tak sama dengan yang lama.
“Kemarin kita sudah lakukan expose. Peserta expose menyatakan bahwa alat bukti sudah cukup kuat untuk dilakukan penyidikan sehingga surat perintah penyidikan diterbitkan pada tanggal 14 Januari nomor print 08,” terang Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah.
Sengketa dengan Avanti
Dalam catatan Bisnis, penyidikan kasus dugaan korupsi satelit di Kemhan merupakan imbas dari adanya putusan pengadilan Arbitrase. Sengketa itu muncul setelah adanya gugatan pihak Avanti Communications Limited.
Pada tanggal 9 Agustus 2017, Avanti Communications Limited resmi memulai proses arbitrase (berdasarkan London Court of International Arbitration Rules 2014) terhadap Kementerian Pertahanan.
Gugatan ke arbitrase itu diajukan untuk menagih sejumlah uang yang harus dibayarkan Kemhan kepada pihak Avanti berdasarkan perjanjian sewa satelit ARTEMIS-nya.
Pada tanggal 6 Juni 2018, majelis arbitrase memberikan putusan akhir, memerintahkan Pemerintah Indonesia untuk membayar kepada Avanti sejumlah total US$20,075 juta.
Adapun pembayaran denda atau sanksi yang dijatuhkan oleh Arbitrase itu harus sudah dilakukan sebelum sebelum 31 Juli 2018.
Sengketa Navayo
Sementara terkait dengan kasus Navayo, sebelum akhirnya menjadi perkara pidana, sejatinya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah menyinggung salah satu kontrak pengadaan satelit dalam laporan audit keuangan Kemhan.
BPK, sebagaimana dalam Laporan Keuangan Kemhan Tahun 2020, memaparkan bahwa sengketa tersebut bermula pada tanggal 1 Desember 2015.
(Rincian klaim dari Navayo./Sumber: LHP Kemenhan 2020).
Saat itu, Kemhan dengan Airbus Defence and Space SAS (Prancis) menandatangani kontrak utama (Frame Work Contract) dalam pembangunan satelit program satkomnas nomor TRAK/773/XII/22/2015 tentang Pengadaan Satelit MMS, Ground Segment beserta dukungannya senilai US$669,4 juta.
Berdasarkan kontrak utama tersebut, pada tanggal 12 Oktober 2016 dilaksanakan penandatanganan kontrak rinci (detailed contract) di antaranya dengan Navayo International AG.
Namun dalam perkembangannya, pemerintah tidak melanjutkan program satkomnas karena tidak didukung dengan anggaran sehingga Kemhan tidak memenuhi kewajiban kepada Navayo International AG sesuai kontrak.
"Atas kondisi tersebut, Navayo International AG mengajukan gugatan di International Court of Arbitration (ICC) di Singapura pada tanggal 22 November 2018 sebesar US$23,4 juta," demikian ditulis dalam audit BPK yang dikutip Bisnis, Selasa (18/1/2022).
Adapun, atas gugatan Navayo International AG tersebut, ICC Singapura telah menerbitkan putusan pada tanggal 22 April 2021, diantaranya ICC Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar tagihan sebesar US$16 juta dan biaya arbitrase sebesar US$ juta.
Kemhan Menggugat
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sendiri menyerahkan penyelesaian perkara tersebut ke Kejaksaan Agung.
Prabowo juga telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terkait pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur di Kemenhan.
"Kami sudah minta BPKP untuk melakukan audit," kata Prabowo usai Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan Tahun 2022, di Kantor Kemhan, Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Tak hanya BPKP yang melakukan audit, kata Prabowo, Kementerian Pertahanan juga melakukan audit secara internal. "Masalah satelit ini masih diproses," ujarnya.
Di sisi lain, Kemhan juga mengambil langkah hukum dengan mengirim gugatan atas putusan Arbitrase Internasional terkait pengadaan satelit orbit bujur timur ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan Kemhan itu ditujukan kepada pihak Navayo International AG dan Hungarian Export Credit Insurance PTE LTD.
Navayo adalah salah satu perusahaan yang memegang kontrak pengadaan satelit. Perusahaan ini memenangkan gugatan di Arbitrase International karena pihak Kemhan dianggap tidak berkomitmen terhadap kontrak yang sudah disepakati.
Adapun dalam petitum gugatan yang terdaftar dengan nomor 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada Selasa (2/2/2022) kemarin, Kemhan meminta mejelis hakim untuk mengabulkan dua gugatan pokoknya.
Pertama, menyatakan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/2021.Eks jo. Putusan Arbitrase Internasional – International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG jo. Nomor 14/ARB-INT/2021/PN.JKT.PST tanggal 30 Desember 2021 Penetapan No:103/2015.eks jo. Putusan Arbitrase Internasional-Putusan Sela Final (Interim Final Award) tanggal 26 Maret 2014 dan Putusan Final (Final Award) tanggal 28 Mei 2014 Jo No 07/PDT/ARB-INT/2015/PN.JKT.PST tidak dapat dieksekusi batal demi hukum.
Kedua, menyatakan bahwa putusan Arbitrase Internasional – International Chambers of Commerce (ICC) tanggal 22 April 2021 Nomor 20472/HTG tidak dapat diakui dan tidak dapat dilaksanakan.