Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Pansus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Guspardi Gaus menyatakan bahwa harus ada penanganan yang serius terkait status tanah di ibu kota negara (IKN) yang direncanakan di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Berdasarkan catatannya, luas wilayah IKN direncanakan sebesar 256.142,74 hektare. Ini meliputi kawasan IKN seluas kurang lebih 56.180 hektar, termasuk kawasan inti pusat pemerintahan dengan luas wilayah yang disesuaikan Rencana Induk IKN dan Rencana Tata Ruang KSN IKN.
Sementara itu, kawasan pengembangan IKN seluas 199.962 hektar. Status kepemilikan hak atas tanah atau bangunan yang berada dalam wilayah IKN tentu sangat beragam seperti hak pakai, hak pengelolaan (HPL), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hingga hak milik (HM).
"Makanya persoalan status tanah harus clear dan clean dulu sebelum pembangunan di lokasi ibu kota baru dilaksanakan," katanya dikutip dari situs DPR, Rabu (29/12/2021).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menjelaskan bahwa data hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI), status kawasan di wilayah tersebut juga menunjukan hampir tidak ada areal yang tidak berizin.
"Wilayah di sekitar Tahura Bukit Soeharto sudah padat dengan izin tambang, perkebunan kelapa sawit, hak pengusahaan hutan (HPH), dan hutan tanaman industri (HTI). Ada sekitar 92 izin yang terdiri dari 1 izin HPH, 2 izin HTI, 12 IUP perkebunan, dan 77 IUP pertambangan," jelasnya.
Guspardi menuturkan bahwa masifnya izin-izin konsesi di wilayah IKN tentu juga memerlukan penanganganan serius karena akan berimplikasi menimbulkan kemungkinan mekanisme tukar guling yang mungkin akan terjadi untuk lahan-lahan yang sudah berizin.
Menurutnya, terhadap persoalan ini perlu dilakukan penyisiran dan dilakukan pengkajian untuk selanjutnya dibuat kebijakan bagaimana menyelesaikannya agar jangan terjadi polemik dan dinamika yang kurang baik di kemudian hari.
Hal lain yang tak kalah penting dan menjadi pertimbangan, tambahnya adalah keberadaan masyarakat adat dan lokal yang sudah lama bermukim di sana. Di perkirakan ada sekitar 20 persen lahan masyarakat dengan bukti sertifikasi hak milik yang harus dibebaskan.
“Tentu perlu dilakukan sosialisasi dan pendekatan yang persuasif dengan masyarakat setempat. Dan jika ada pembebasan lahan milik masyarakat, seharusnya dilakukan dengan ganti untung," ungkap Anggota Baleg DPR tersebut.