Bisnis.com, JAKARTA – Selalu ada pelajaran berharga dari setiap gelaran pemilu. Bahkan ketika ritual politik itu diadakan di negara yang secara tradisi bisa dikatakan sebagai ‘kiblat demokrasi’.
Coba kita tengok laga pemilihan presiden AS beberapa waktu lalu. Rivalitas Joe Biden—Donald Trump tak ubahnya partai ulangan kontestasi panas antara George W. Bush dan Al Gore pada 7 November 2000. Serupa tapi tak sama dengan Indonesia 2019.
Saat itu Bush adalah Gubernur Texas dan Gore sebagai wakil presiden. Titik didih itu adalah ketika Mahkamah Agung menghentikan penghitungan ulang suara di Florida pada 12 Desember, setelah sebelumnya publik Amerika terpecah sedemikian rupa dalam dua kubu yang sulit didamaikan.
Melihat fenomena itu, Charles L. Zelden, ilmuwan politik AS yang disegani, sampai menyebutnya sebagai ‘hidden crisis in American democracy’, karena mempertontonkan semangat partisan yang dipandang sudah melebihi dosis.
Tak salah bila kemudian Hollywood mengangkat kisahnya ke layar lebar pada 2008 berjudul Recount.
Maju hampir dua dekade berikutnya, pada pemilihan presiden 2016, AS juga dibuat geger dengan kemenangan mengejutkan Donald Trump terhadap Hillary Clinton yang sebelumnya diunggulkan.
Tak pelak, sejak itu pula kehidupan demokrasi di negeri Paman Sam dianggap sudah mati, seperti dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Dies (2018).
Dan, bukan salah pemimpin Kuba, Raul Castro, bila dia mengatakan secara guyon bahwa Partai Republik dan Partai Demokrat sesungguhnya tak beda. “Itu ibarat Fidel dan saya. Fidel berjenggot dan saya tidak.” (William Blum, 2013).
Pemilihan presiden di Negeri Paman Sam dan Pilkada di zamrud khatulistiwa sama-sama bukan barang baru. Dinamikanya selalu menarik diikuti.
Buktinya, pilkada serentak pada Juni 2018 lalu. Pesta demokrasi di ranah lokal ini juga menjadi sorotan banyak media asing berpengaruh. Lalu bermunculan berbagai istilah yang membuntutinya. Salah satu yang paling nyaring adalah sebutan ‘Pilkada rasa Pilpres 2019’.
Para king maker pun tidak jauh-jauh pula dari klan politik yang biasa mewarnai proses berdemokrasi di Indonesia sejak reformasi 1998 lalu, bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Hajatan politik terakhir adalah Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 yang diadakan di 270 daerah di seluruh penjuru Nusantara di tengah pandemi yang mengganas. Hasilnya sudah sama-sama kita ketahui.
Selanjutnya kita bakal menyongsong ‘ritual politik’ serupa dengan skala yang lebih akbar yaitu pemilihan presiden 2024. Pelan tapi pasti sejumlah aktor politik papan atas mulai menebar pengaruhnya melalui beragam jalur.
Personal branding juga terus dipoles dengan berbagai aksi. Musim pagebluk yang belum berlalu sama sekali bukan halangan untuk menyampaikan ‘isi hati’ kepada khayalak untuk mengawal republik.
Denyut aksi memang terasa masih lemah tetapi intensitasnya dipastikan bakal nyaring di hari-hari mendatang, mewarnai kontestasi yang semakin dinamis menuju panggung kekuasaan 2024.
Dari hiruk pikuk di setiap pesta demokrasi yang bernama pemilihan umum, hendaknya kita tidak melupakan esensi. Bukan sekadar siapa memperoleh suara berapa, menang telak-kalah tipis, koalisi besar-koalisi rapuh, oposisi loyal-‘oposisi setengah hati’ dan berbagai bentuk respons politik lainnya terhadap hasil akhir kontestasi.
Pemilu, pilpres atau pilkada, serentak atau tidak serentak, langsung atau tidak langsung adalah pertaruhan untuk kebaikan. Substansinya adalah kinerja. Bukan kekuasaan buta.
Dengan begitu kehidupan politik lima tahunan di Tanah Air niscaya akan lebih bermakna dan bermartabat, karena bukan berorientasi sempit dan sarat kepentingan di mana uang menjadi panglima.
Kita juga bisa memetik pelajaran lain agar tidak asyik bermain politik seperti yang digambarkan Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam Democracy for Sale (2019) untuk tujuan yang lebih besar, yaitu membangun simpul dan pilar demokrasi yang sehat, kokoh, dan dinamis mulai dari tingkat akar rumput.