Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Miris! KPAI Temukan Anak SD Dipaksa Tinggal Kelas karena Beragama Minoritas

SD Negeri 051 Tarakan, Kalimantan Utara tidak menaikan kelas, 3 siswanya selama 3 tahun berturut-turut karena menganut agama Saksi Yehuwa
Sejumlah siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada hari pertama kembali masuk sekolah di SDN 3 Lhokseumawe, Aceh, Kamis (5/8/2021). Pemkot Lhokseumawe kembali melaksanakan PTM terbatas untuk seluruh jenjang pendidikan tahun ajaran baru 2021/2022 dengan menerapkan protokol kesehatan ketat setelah kriteria di daerah tersebut turun dari level 3 ke level 2 pandemi Covid-19. ANTARA FOTO/Rahmad
Sejumlah siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada hari pertama kembali masuk sekolah di SDN 3 Lhokseumawe, Aceh, Kamis (5/8/2021). Pemkot Lhokseumawe kembali melaksanakan PTM terbatas untuk seluruh jenjang pendidikan tahun ajaran baru 2021/2022 dengan menerapkan protokol kesehatan ketat setelah kriteria di daerah tersebut turun dari level 3 ke level 2 pandemi Covid-19. ANTARA FOTO/Rahmad

Bisnis.com, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menemukan ada sekolah dasar negeri yang tidak menaikkan anak didiknya karena menganut agama Saksi Yehuwa. Parahnya lagi, bukan hanya satu anak didik saja yang tinggal kelas, melainkan 3 anak karena mereka kakak beradik.

"Ada 3 kakak beradik penganut Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapor. Ketiganya bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Mereka melapor ke KPAI," ujar Retno dalam keterangan resminya, Minggu (21/11/2021). 

Hal ini sangat disayangkan Retno, karena merupakan tindakan diskriminatif, melanggar HAM dan bertentangan dengan imbauan Mendikbud-Ristek yang ingin menghapus tiga dosa besar pendidikan, yakni perundungan dan kekerasan, kekerasan seksual dan intoleransi.

Ketiga adik kakak tersebut bernama M (14 tahun) kelas 5 SD; Y(13  tahun) kelas 4 SD; dan YT (11 tahun) kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas  pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021. 

Berdasarkan laporan yang diterima KPAI, alasan tidak naik kelas ketiga anak tersebut berbeda-beda setiap tahunnya. Mulai dari sekolah menolak memberikan pelajaran agama pada ketiga anak tersebut sampai anak diminta menyanyikan lagu rohani yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

Retno mengatakan, keputusan sekolah tidak menaikan kelas anaknya membuat orang tuanya menempuh jalur hukum. Pasalnya, jalur mediasi yang dilakukan selalu menemui jalan buntu. Anehnya, kata Retno, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) selalu memenangkan orang tua anak tapi tetap saja sekolah tidak menaikan anak-anak tersebut.

Putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya. Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah sekaligus bentuk intoleransi.

“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek, bahwa  mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” ungkap Retno yang juga menjadi penanggung jawab Tim Pemantauan Kasus Intoleransi di Tarakan atas penugasan Itjen KemendikbudRistek.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Wahyu Arifin
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper