Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta pemerintah meninjau ulang rencana pemberian nama Jalan Atatürk di Jakarta. Alasannya klasik, Atatürk adalah simbol sekularisme.
Mustafa Kemal memang kadung dianggap tokoh antagonis dalam sejarah Islam. Dia digambarkan kejam, pemabuk, dan biang kerok runtuhnya Kesultanan Ottoman atau Usmaniah.
Namun demikian jika menilik ke belakang, Mustafa Kemal Atatürk memiliki persinggungan yang cukup kuat dengan gerakan nasional di Indonesia. Sosok Mustafa Kemal menjadi salah satu inspirasi tokoh pergerakan nasional Indonesia, terutama Soekarno.
Sukarno atau Bung Karno bahkan mengulas secara khusus sosok Mustafa Kemal dan nasionalisme Turki dalam bukunya yang legendaris Di Bawah Bendera Revolusi.
Bagi Soekarno, nasionalisme dan sekuralisme Turki telah memberikan contoh yang paling sempurna. Bagaimana kehidupan negara dan agama harus dipisahkan. Pemisahan agama itu bukan berarti membenamkan agama dan membuangnya dari diskursus publik.
Sekularisme Turki justru ingin memurnikan agama, supaya agama tidak lagi diatur-atur atau digunakan oleh segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaannya seperti periode Ottoman dulu. Konsep inilah yang membuat Turki mampu bertahan sampai sekarang.
Baca Juga
Tidak bisa dibayangkan jika Turki masih dikuasai wangsa Ottoman. Agama akan menjadi bagian dari kekuasaan raja dan para pejabat di sekelilingnya. Mana kepentingan raja, negara, dan agama akan sulit dibedakan.
Dalam posisi ini, Mustafa adalah seorang pembebas. Dia menempatkan Turki dalam jalan yang 'tepat' pada waktu itu dan berhasil membangun kebanggaan bangsa Turki yang nyaris hancur karena kalah perang.
Wajar dengan sepak terjangnya, Mustafa Kemal tetaplah seorang tokoh besar. Ketika banyak orang menghujatnya habis-habisan, bangsa Turki tetap menghargai jasa Mustafa Kemal Atatürk yang artinya memang “Bapak Bangsa Turki”.
Mau bukti? Cek aja akun Youtube Oki Setiana Dewi. Suatu kali, Oki bertanya kepada orang Turki soal Erdogan dan Mustafa Kemal. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, Oki dengan mantap bertanya kepada pemuda Turki itu, pilih Mustafa Kemal atau Erdogan?
Pemuda Turki itu jelas memilih Mustafa Kemal. Sebab, betapapun kesan atau citra buruk yang digembar-gemborkan orang non-Turki, Mustafa Kemal tetap sosok penting dalam sejarah Turki modern. Jasa Mustafa Kemal kepalang besar dibandingkan citra buruk yang dideskripsikan & dipahami oleh orang non-Turki.
Coba bayangkan jika Türk Ulusal Hareketi atau Gerakan Nasional Turki tak pernah ada, wilayah eks Ottoman di Anatolia & Trakia Timur hampir pasti menjadi bagian negara lain, Yunani terutama. Jika itu terjadi, Hagia Sophia bakal balik menjadi gereja Ortodoks. Erdogan ujung-ujungnya tidak bisa nebeng popularitas dengan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid seperti saat ini.
Sayangnya, orang non-turki dan pengagum khilafah Usmani sering memahami sejarah secara parsial. Mereka kerap terjebak pada romantisme sejarah yang bergelimang kejayaannya. Hasilnya, banyak orang lupa daratan, bias dan enggak kontekstual.
Padahal, Ottoman abad XIX & awal abad XX berbeda dengan Ottoman abad 15 yang masyur dengan pasukan Janissary yang kuat. Ottoman adalah The Sick Man, pesakitan Eropa yang bukan saja kalah dalam banyak peperangan, juga tertinggal dari sisi ilmu pengetahuan.
Nasib Ottoman makin tak menentu pasca Perang Dunia I. Sebagai bagian dari Blok Sentral yang kalah perang, Ottoman harus merelakan wilayahnya yang luas dibagi-bagi dan diduduki oleh blok pemenang perang. Inggris mengambil kawasan Arab. Sementara sebagian Anatolia dikuasai Prancis & Yunani.
Beruntung Turki punya Mustafa Kemal dan Türk Ulusal Hareketi yang kemudian melancarkan perang kemerdekaan Turki. Mereka mampu mengkonsolidasikan kekuatan yang tercerai-berai. Merebut setiap jengkal wilayah yang dikuasai Yunani dan Prancis.
Hasilnya, pada Juli 1923 perjanjian Lausanne ditandatangani, Yunani & sekutu kalah perang. Mereka hengkang dari wilayah Anatolia dan Thrace Timur diikuti oleh pertukaran populasi muslim Turki dan Ortodoks Yunani.
Negara Turki kemudian terbentuk, hanya jalannya bukan lagi negara konservatif seperti Ottoman, tetapi Turki modern dengan nilai sekular seperti sekarang ini. Mustafa Kemal kemudian diketahui sebagai presiden yang pertama dengan gelar Atatürk atau Bapak Bangsa Turki.
Jalan sekular Turki menjadi inspirasi Sukarno dan tokoh pergerakan lainnya dalam merumuskan konsep negara. Meskipun kalau dicermati, langkah yang diambil para pendiri negara tidak seekstrem Turki yang secara tegas memisahkan negara dengan agama.
Paling tidak dalam Pancasila, para pendiri negara tetap sepakat untuk menempatkan, ketuhanan yang maha esa sebagai sila pertama.