Bisnis.com, JAKARTA – Hari ulang tahun TNI yang diperingati setiap 5 Oktober sudah di depan mata. Namun di angkasa biru negeri berjuluk Zamrud Katulistiwa ini, belum ada tanda-tanda pengawal garang dirgantara buatan negeri seberang samudra terbang gagah melintasi gugusan nusa.
Sudah hampir lima tahun kita menanti kehadirannya. Itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh TNI dan pemerintah. Menghadirkan jet tempur yang satu ini tampaknya sebuah ‘dog fight’ tersendiri bagi Indonesia dan Rusia.
Bukan kabar yang melegakan bila dalam sebuah negosiasi bisnis muncul ucapan ‘take it or leave it’ dari salah satu pihak yang terlibat. Hal itu yang mengemuka dalam benak ketika mencermati pernyataan Koordinator Bidang Peningkatan Akses Pasar Kementerian Perdagangan Bambang Jaka menyoal rencana imbal beli 11 jet tempur Sukhoi Su-35 buatan Rusia.
Padahal MoU antara kedua negara sudah ditandatangani empat tahun silam (Bisnis.com, 29/7). Ada kebanggaan tersendiri bila dirgantara Indonesia dikawal oleh jet tempur modern, canggih, dan tangguh macam Su-35, karena memang sosoknya sangat disegani lawan.
Modernisasi dan sekaligus penguatan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) di sektor udara ini memang sangat strategis dalam rangka memenuhi kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF), karena saat ini diperkirakan baru mencapai 44%.
Dari catatan yang ada, TNI AU memasang target pada 2024 MEF sudah dapat melesat di angka maksimal (100%). Penguatan MEF tersebut juga sejalan dengan Kebijakan Pertahanan Tahun 2019. Utamanya adalah menindaklanjuti pembangunan Postur Pertahanan Militer.
Pelaksanaan kebijakan ini diarahkan untuk pembangunan Kekuatan Pokok Minimun TNI yang berpedoman pada konsep pengembangan postur ideal TNI. Pembangunan MEF TNI telah direncanakan dalam jangka panjang dengan mengacu pada aspek modernisasi alutsista, pemeliharaan dan perawatan, pengembangan organisasi maupun pemenuhan sarana prasarana.
Bila dicermati, pengadaan dan modernisasi Alutsista TNI dewasa ini bisa dikatakan on the right track. Dilakukan secara terencana dan terukur. Coba saja tengok dari aspek MEF. Sejak dicanangkan pada 2007, MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis hingga 2024.
MEF tidak hanya meliputi modernisasi bidang teknologi, tetapi juga industri pertahanan, yang kini percepatannya dapat didorong oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan.
Di sisi lain, berbagai dinamika keamanan global cenderung menghangat hingga beberapa tahun ke depan sebagai akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari kelanjutan perang dagang AS-China, tensi politik di semenanjung Korea, Laut China Selatan, Timur Tengah hingga adanya pakta militer baru AUKUS yang melibatkan Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Perang Dingin memang sudah usai. Namun, bukan berarti tidak ada ‘perang’ antar blok super power dalam wujud baru. Timbulnya Perang Dagang membuat negara saling ‘berperang’ untuk menjadikan dirinya ‘surga baru investasi’.
“Berakhirnya Perang Dingin mungkin merepresentasikan threat trough, sebuah periode persaingan keamanan internasional yang telah berkurang secara substansial. Penurunan dalam lingkungan ancaman eksternal ini mungkin juga mempengaruhi negara dan politik domestik,” ujar Michael C. Desch dalam karyanya berjudul Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment.
Namun, kita tak boleh lengah sekejap pun. Harus terus mengasah kecermatan dan kewaspadaan, terutama bidang pertahanan dan keamanan. Apalagi, belanja militer Indonesia tergolong mini.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute 2018, kita berada di peringkat ke-8 setelah Malaysia. Indonesia hanya unggul dari Thailand dan Timor Leste dalam hal belanja militer 2017.
Dalam kondisi demikian, bisa jadi strategi yang paling tepat adalah ‘cari teman, bukan cari musuh’. Namun, menjaga kehormatan dan harga diri Merah Putih adalah nomor satu.
Meskipun barter, langkah kedua pihak sejauh ini belum firmed. Rekam jejak barter sebelumnya yang mulus menjadi ujian bagi imbal beli Sukhoi kali ini. Dengan anggaran militer yang terbatas, kita tentu tidak dapat melaksanakan program peremajaan dan penggantian jet tempur secara serentak.
Skala prioritas dipatok sangat ketat serta segala daya dan upaya coba ditempuh. Nah, barter jadi opsi kuat. Dari perkembangan yang ada, negosiasi dagang terbukti rumit, alot, dan menguras energi.
Di sisi lain, muncul kerawanan tersendiri terhadap wilayah udara Indonesia bila program modernisasi pesawat tempur andalan tertunda. Jujur saja, F 5E Tiger tentu bukan lawan tanding yang setara dengan Su-35, bahkan Su-27 sekalipun. Alhasil, makin cepat F 5E tergantikan, kian kondusif pula bagi dirgantara Merah Putih.
Semoga saja Moskwa tetap teguh memegang komitmennya. Pun, Jakarta juga dapat memahami apa kebutuhan riil Rusia saat ini, sehingga dapat dilanjutkan ke tahap imbal beli.