Bisnis.com, JAKARTA – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang menghukum mantan Direktur Utama PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) Jarot Subana 6 tahun penjara.
Jarot adalah terdakwa kasus korupsi subkontraktor fiktif di PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Kasus ini sebelumnya telah disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tanggal 26 April 2021 yang dimintakan banding tersebut,” demikian bunyi putusan yang dikutip Bisnis, Jumat (17/9/2021).
Jarot adalah mantan Dirut Waskita Beton. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi subkontraktor fiktif di perusahaan konstruksi milik negara, Waskita Karya.
Penyidik KPK sempat menjemput paksa Jarot karena dianggap tidak kooperatif. Hakim PN Tipikor pada April lalu telah menjatuhkan hukuman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Adapun dalam kasus ini, KPK juga telah menetapkan mantan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar (YAS) sebagai tersangka dan mantan Kepala Divisi (Kadiv) II Waskita Karya, Fathor Rachman.
Fathor, Yuly dan kawan-kawan diduga menunjuk beberapa perusahaan subkontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif pada sejumlah proyek konstruksi yang dikerjakan oleh emiten berkode saham WSKT tersebut.
Sebagian dari pekerjaan tersebut diduga telah dikerjakan oleh perusahaan lain, tetapi tetap dibuat seolah-olah akan dikerjakan oleh empat perusahaan subkontraktor yang teridentifikasi sampai saat ini.
Diduga empat perusahaan tersebut tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak.
Atas subkontrak pekerjaan fiktif itu, PT Waskita Karya selanjutnya melakukan pembayaran kepada perusahaan subkontraktor tersebut.
Namun selanjutnya, perusahaan-perusahaan subkontraktor tersebut menyerahkan kembali uang pembayaran dari PT Waskita Karya kepada sejumlah pihak termasuk yang kemudian diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Fathor Rachman dan Yuly Ariandi Siregar.
Dari perhitungan sementara dengan berkoordinasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, diduga terjadi kerugian keuangan negara setidaknya sebesar Rp186 miliar.