Bisnis.com, JAKARTA – Skandal dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menyita perhatian publik. Setelah lebih dari 20 tahun, pemerintah akhirnya memanggil bahkan menyita aset milik obligor BLBI yang digadang-gadang bernilai Rp110,45 triliun. Mampukah pemerintah mengambil kembali uang ratusan triliun dari obligor BLBI?
Berita terbaru, Satuan Tugas (Satgas) BLBI telah menyita tanah seluas 26.928,9 m2 milik eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) PT Sinar Bonana Jaya eks Bank Yakin Makmur (YAMA) di Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
Penyitaan tersebut merupakan salah satu upaya Satgas BLBI untuk mengamankan aset-aset eks debitur maupun obligor BLBI. Adapun, Bank Yama adalah salah satu eks debitur BLBI. Bank Yama dalam sejumlah sumber disebutkan sebagai penyedia jasa keuangan milik putri mendiang Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto.
Lantas, bagaimana sebenarnya skenario penyelamatan bank justru menjadi skandal keuangan terbesar yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah? Simak sejarah BLBI yang dirangkum Bisnis dari berbagai sumber.
Skandal BLBI tidak terlepas dari krisis ekonomi yang disertai gejolak sosial politik pada Mei 1998. Situasi krisis tersebut mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional menjadi rendah.
Kondisi ini memicu penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan secara besar-besaran (bank run). Tekanan yang begitu kuat telah berdampak pada kesulitan likuiditas di beberapa bank, bahkan berpotensi mengancam kehancuran sistemik perbankan nasional.
Oleh sebab itu, untuk membantu kesulitan likuiditas bank-bank dan menghindari kegagalan sistemik, Bank Indonesia (BI) memberikan BLBI untuk mencegah rusaknya sistem pembayaran dan sistem keuangan secara keseluruhan.
Berdasarkan laporan tahunan 1998/1999 yang dirilis oleh Bank Indonesia, secara garis besar terdapat empat masalah mendasar yang membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk pada 1998/1999. Salah satunya adalah efek ketidakseimbangan neraca yang sangat berat di berbagai sektor usaha, termasuk perbankan.
Hal itu bukan hanya telah menurunkan aktivitas dunia usaha, melainkan juga telah menimbulkan ketidakseimbangan di neraca sektor moneter dan sektor fiskal sehingga merusak keseimbangan makroekonomi.
Namun, pemberian BLBI akan semakin memperberat upaya BI untuk memantapkan kembali kendali moneter. Untuk mengurangi dampak negatif pemberian BLBI, BI secara intensif melakukan operasi pasar terbuka (OPT) dan mengupayakan penyelesaiannya.
BLBI MEROKET
Selama periode April-Juli 1998, BLBI meningkat sangat cepat bak bola salju jika dibandingkan dengan akhir tahun sebelumnya. Kemudian, pada April 1998, BLBI mengalami peningkatan sebesar Rp10,2 triliun yang disebabkan reaksi masyarakat yang berlebihan atas kebijakan pengambilalihan manajemen bank umum oleh pemerintah pada April 1998.
Hal ini tercermin dari meningkatnya penarikan atau pemindahan dana oleh nasabah bank pada bank-bank di bawah BPPN sehingga saldo giro bank tersebut di BI menjadi negatif dalam jumlah yang cukup besar.
Pada Mei 1998, BLBI semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ketidakpastian sosial politik dalam negeri. Gejolak sosial yang kemudian diikuti dengan peralihan kepemimpinan nasional pada pertengahan Mei 1998 telah menimbulkan rush pada beberapa bank.
"Penarikan dana masyarakat yang sangat besar terjadi pada salah satu bank swasta nasional. Aksi penarikan dana secara besar-besaran dilakukan oleh para nasabah baik secara tunai maupun pemindahbukuan atau transfer ke bank-bank yang dipandang cukup aman. Akibatnya, BLBI pada akhir Mei 1998 meroket sehingga posisinya mencapai Rp148,8triliun," tulis Laporan Tahunan 1998/1998 yang diterbitkan Bank Indonesia seperti dikutip, Jumat (10/9/2021).
Pada Juni-Juli 1998, BLBI masih terus meningkat sebagai akibat masih berlangsungnya rush yang disebabkan oleh belum stabilnya situasi politik dalam negeri. Selain itu, peningkatan BLBI dalam periode ini berkaitan dengan upaya pemerintah dalam memulihkan kepercayaan internasional terhadap perbankan nasional.
Akhir Juli 1998, BLBI telah mencapai Rp177,1 triliun. Dalam periode Agustus 1998-Januari 1999, posisi BLBI mulai menurun. Hal ini didukung dengan mulai membaiknya likuiditas perbankan, menguatnya nilai tukar rupiah, terkendalinya laju inflasi, dan relatif terkendalinya kondisi sosial- politik dalam negeri.
MULAI TURUN
Untuk meminimalkan kemungkinan kenaikan BLBI lebih lanjut, pada bulan April 1998 Bank Indonesia menerapkan penalti yang tinggi atas fasilitas diskonto dan saldo giro negatif bank-bank di Bank Indonesia. Kebijakan tersebut juga didukung oleh pembatasan penggunaan nota debet dalam proses kliring dan pelarangan penggunaan nota kredit antarbank oleh bank-bank penerima BLBI.
"Selain itu, pada bulan Mei 1998 Bank Indonesia membatasi suku bunga maksimum simpanan pihak ketiga dan suku bunga PUAB 62 yang dijamin oleh pemerintah. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi perilaku bank yang tidak berhati-hati yang apabila dibiarkan akan berpotensi menimbulkan kenaikan BLBI lebih lanjut," tulis Laporan Tahunan 1998/1998 yang diterbitkan Bank Indonesia seperti dikutip, Jumat (10/9/2021).
Faktor lain yang menyebabkan penurunan posisi BLBI selama periode Agustus 1998-Januari 1999 adalah membaiknya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional. Kondisi ini tercermin dari tidak adanya rush secara besar-besaran ketika pemerintah membekukan kegiatan usaha 3 dari 7 bank yang diambil alih pada Agustus 1998.
Namun, kekhawatiran masyarakat masih terus berlangsung sampai awal Maret 1999 dan baru mereda setelah 13 Maret 1999, tepatnya saat pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan menetapkan 9 bank untuk mengikuti program rekapitalisasi.
Adapun, penyelesaian BLBI dilaksanakan melalui cara-cara seperti pemberian kuasa oleh Menteri Keuangan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan penagihan BLBI kepada pemilik dan pengurus bank, pencegahan bagi pemilik dan pengurus bank yang berada di bawah pengawasan BPPN untuk berpergian ke luar negeri, dan penjualan aset-aset bank melalui BPPN.
DAFTAR OBLIGOR BLBI
Nama | Bank | Jumlah Utang |
Setiawan Harjono dan Hendarawan Harjono | Bank Aspac | Rp3,579 triliun |
Hindarto Tantular/Anton Tantular | Bank Central Dagang | Rp1,47 triliun |
Sjamsul Nursalim | Bank Dewa Rutji | Rp 470,8 miliar |
Kharudin Ongko | Bank Arya Panduartha | Rp359,4 miliar |
Sudjanto Gondokusumo | Bank Dharmala | Rp822,2 miliar |
Kwang Benny Ahadi | Bank Orient | Rp143,3 miliar |
Baringin Marulam Hasiholan Panggabean & Joseph Januardy | Bank Manura | Rp170,1 miliar |
Trijono Gondokusumo | Bank Putra Suraya Perkasa | Rp4,893 triliun |
Santoso Sumali | Bank Metropolitan | Rp70,4 miliar |
Santoso Sumali | Bank Bahari | Rp406,4 miliar |
M Sudiarta dan IGD Darmawan | Bank Aken | Rp509,9 miliar |
Fadel Muhammad | Bank Intan | Rp136,4 miliar |
Hengky Wijaya | Bank Tata Internasional | Rp596,7 miliar |
David Nusa Wijaya/Trunojoyo | Nusa Bank Servitia | Rp4,308 triliun |
Agus Anwar | Bank Pelita Istimarat | Rp577,8 miliar |
Atang Latief | Bank Indonesia Raya | Rp155,7 miliar |
Marimutu Sinivasan | Bank Putra Multikarsa | Rp790,5 miliar |
Ulung Bursa | Bank Lautan Berlian | Rp424,6 miliar |
Lidia Muchtar | Bank Tamara | Rp188,4 miliar |
Samadikun Hartono | Bank Modern | Rp2,525 triliun |
Kaharudin Ongko | Bank Umum Nasional | Rp7,828 triliun |
Total | Rp30,428 triliun |
Sumber: Satgas BLBI, diolah