Bisnis.com, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengakui bahwa pelacakan aset atau harta milik obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tak semudah membalikkan telapak tangan.
Menurutnya, kasus BLBI sudah lama sekali dan kompleks, sehingga hasil penelusuran cenderung sulit. Selain itu nama rekening dan kepemilikan aset sangat mungkin menggunakan nama pihak lain.
"Dalam konteks tersebut, PPATK dapat memanfaatkan jejaring lembaga intelejen keuangan (FIU) yang dimilikinya dalam hal bertukar informasi," kata Dian kepada Bisnis, Rabu (1/9/2021).
Dian menambahkan bahwa PPATK sekarang ini sedang berusaha keras mendorong disahkannya RUU Perampasan Asset. Apabila ikhtiar ini berhasil, maka UU tentang PA akan menjadi instrumen yang efektif dalam rangka membantu Satgas BLBI untuk melakukan proses perdata dalam mengembalikan aset negara.
PPATK, kata dia, akan mempersiapkan data dan informasi untuk memastikan penerapan UU Perampasan Aset. Menurutnya, presiden, menkopolhukam, Menkumham sudah menyetujui supaya RUU itu diajukan pada saat amandemen prolegnas prioritas DPR.
"Dengan mengetahui nama, jumlah dan status terkini para Obligor BLBI, sesuai dengan tugasnya, PPATK dapat menginisiasi kegiatan Analisis dan Pemeriksaan yang bersifat proaktif. Apalagi kalau ditemukan indikasi yang kuat adanya TPPU," tukasnya.
Baca Juga
Adapun Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan pada tahun 2000 telah menyebutkan bahwa skandal BLBI merugikan keuangan negara Rp138,442 Triliun dari Rp144, 536 triliun BLBI yang disalurkan. A
rtinya ada kebocoran sekitar 95,78%. Sementara audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI dengan rincian 10 Bank Beku Operasi, 5 Bank Take Over, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 15 Bank Dalam Likuidasi.
Menteri Keuagan Sri Mulyani Indrawati berulangkali menyatakan bahwa negara sampai dengan saat ini terus dibebani persoalan BLBI.
Menurutnya sejak pertama kali dia menjadi menteri keuangan hingga diperiode ketiga dia menjabat kursi penguasa fiskal, kasus ini belum tuntas. Negara belum lepas dari dosa kebijakan yang bermula pada saat krisis tersebut.