Bisnis.com, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terus melacak dan mencari keberadaan aset milik para obligor atau debitur Bantuan Likuditas Bank Indonesia atau BLBI.
Kepala PPATK Fian Ediana Rae memaparkan sebagai bagian dari Satgas BLBI, lembaga intelijen keuangan sangat mendukung upaya pemerintah untuk mengembalikan uang negara seoptimal mungkin.
"Dalam konteks keanggotaan dalam Satgas, peran PPATK sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah mengidentifikasi status rekening para obligor berikut pihak keluarga dan pihak terafiliasinya," ujar Dian kepada Bisnis, dikutip Rabu (1/9/2021).
Dian memaparkan bahwa hasil analisis lanjutan terhadap rekening tersebut bisa mengarah kepada kepemilikan aset para obligor baik di dalam maupun di luar negeri.
Menurutnya PPTAK dapat memanfaatkan jejaring lembaga intelejen keuangan (FIU) yang dimilikinya dalam hal bertukar informasi mengenai keberadaan aset milik para obligor BLBI.
"Informasi tersebut bermanfaat membantu satgas BLBI dalam rangka asset tracking dan asset recovery," papar dia.
Baca Juga
Satgas BLBI telah memangil sejumlah obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada pekan lalu. Nama obligor yang muncul ke publik antara lain putra penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto dan eks pemilik Bank Pelita Agus Anwar.
Langkah Satgas BLBI tersebut menuai banyak sorotan dari publik, termasuk politisi. Umumnya mereka mendukung langkah satgas untuk menuntaskan perkara yang puluhan tahun lamanya telah mengendap bahkan penyelesaiannya terkesan setengah hati.
Keberadaan Satgas BLBI juga memberi angin segar di tengah frustasi para aparat penegak hukum yang lagi-lagi gagal menjebloskan para obligor atau pengemplang uang rakyat ke jeruji besi.
Satgas BLBI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Kehadarian satgas ini adalah dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Ini mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp110,4 triliun.
“Jadi ini adalah hak tagih negara yang berasal dari krisis perbankan tahun 97/98. Jadi memang pada saat itu negara melakukan bailout melalui Bank Indonesia yang sampai hari ini pemerintah masih harus membayar biaya tersebut,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pertengahan tahun ini.