Bisnis.com, JAKARTA – Satgas BLBI telah memangil sejumlah obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada pekan lalu.
Nama obligor yang muncul ke publik antara lain putra penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto dan eks pemilik Bank Pelita Agus Anwar.
Selain memanggil para obligor, Satgas BLBI secara seremonial juga tutur menyita sejumlah aset milik para debitur meupun obligor BLBI. Salah satu aset yang kemudian menuai polemik adalah penyitaan aset tanah di Lippo Karawaci, Tangerang.
Versi pemerintah, aset tersebut merupakan milik Lippo. Namun demikian, aset tersebut telah diserahkan kepada pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu sebagai pengurang utang BLBI. Aset tanah tersebut juga sudah tercatat dalam laporan keuangan pemerintah pusat.
Artinya, kepemilikan aset di Lippo Karawaci bukan sesuatu yang baru. Pemasangan patok terhadap aset lahan itu hanya untuk mengamankan aset negara yang selama ini telah dikuasai atau dimanfaatkan oleh pihak ketiga.
Sementara itu, dari sisi Lippo Karawaci (LPKR) dalam keterbukaan informasi yang disampaikan pada hari ini, Selasa (31/8/2021), Lippo membantah adanya kaitan antara Lippo dengan kasus BLBI.
Baca Juga
Lippo menjelaskan bahwa lahan yang disampaikan oleh pemerintah sebetulnya adalah lahan yang sudah dimiliki secara hukum dan dikuasai oleh pemerintah sejak 2001. Jadi lahan tersebut sudah bukan lagi milik PT Lippo Karawaci Tbk.
Kepemilikan lahan oleh pemerintah sejak 2001, terkait dengan BLBI terhadap bank-bank yang diambil alih oleh pemerintah, BPPN, pada bulan September 1997, pada krisis moneter saat itu.
“Bahwa di antara aset-aset yang dikonsolidasikan di dalam Satgas tersebut ada yang terletak di sekitar pemukiman yang disebut Lippo Karawaci adalah sesuatu hal yang wajar,” demikian penjelasan Lippo.
Adapun Satgas BLBI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Kehadarian satgas ini adalah dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Ini mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp110,4 triliun.
“Jadi ini adalah hak tagih negara yang berasal dari krisis perbankan tahun 97/98. Jadi memang pada saat itu negara melakukan bailout melalui Bank Indonesia yang sampai hari ini pemerintah masih harus membayar biaya tersebut,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pertengahan tahun ini.