Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat memastikan bahwa MPR RI belum memutuskan apapun terkait wacana amendemen UUD 1945. Wacana amendemen UUD 1945 ini pun mendapatkan kritikan dari sejumlah pihak.
“Sebagaimana kita ketahui, proses untuk bisa mengajukan amendemen itu sangat panjang dan harus didahului oleh sebuah kajian,” kata Lestari saat membuka sebuah diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, dikutip dari YouTube @Rerie Lestari Moerdijat, Rabu (1/9/2021).
Lebih lanjut, wacana amandemen UUD 1945 yang terus berkembang di masyarakat dengan berbagai isu terkait lainnya, membuat seakan-akan pasti terjadi.
Menanggapi hal itu, Lestari mempertanyakan seberapa besar urgensi dari amendemen ditengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, ada banyak hal yang perlu diperhatikan salah satunya adalah manfaat dari amendemen bagi masyarakat.
Walhasil, dia meminta para pengkaji rencana amendemen UUD 1945 untuk membuka ruang sebesar-besarnya kepada publik baik yang mendukung dan yang tidak untuk menyampaikan aspirasinya.
Lestari juga menyampaikan bahwa keberadaan konstitusi menjadi sangat penting bagi sebuah negara karena menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Oleh sebab itu semua langkah-langkah yang berhubungan dengan perubahan konstitusi atau amendemen konstitusi perlu sekali mempertimbangkan banyak aspek,” ujarnya.
Dia berharap segala wacana terkait amandemen tidak menjadi ‘bola liar’ yang tidak bisa dikendalikan sehingga berpotensi merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa amendemen UUD 1945 adalah kewenangan MPR, pemerintah tidak mengatakan setuju atau tidak, karena tidak punya kewenangan.
“Resminya pemerintah tidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan. Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya. Silakan sampaikan ke MPR/DPR, kita jaga, kita amankan. Itu tugas pemerintah. Adapun substansi mau mengubah atau tidak itu adalah keputusan politik, lembaga politik yang berwenang,” kata Mahfud dalam keterangan resmi, Kamis (26/8/2021).
Mantan Ketua MK itu memaparkan, bahwa perubahan konstitusi merupakan wewenang dari MPR yang mewakili seluruh rakyat, yang kaki-kaki kelembagaannya ada di DPR, Partai politik, DPD, dan lain-lain.
Sehingga berbagai kekuatan atau aspirasi di dalam masyarakat tentunya disalurkan disalurkan ke dalam kaki-kaki kelembagaan yang disediakan oleh konstitusi itu.
Menurut Mahfud, adapun pemerintah tidak ikut campur. Pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju, karena sebenarnya perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah.
Namun Guru Besar Hukum Tata Negara ini menggaris bawahi, karena konstitusi itu adalah produk resultante politik, maka di dalam sepanjang sejarah Indonesia tidak ada, hampir tidak ada, sebuah produk konstitusi itu yang selalu dianggap bagus. Begitu dilahirkan langsung dikiritk bahwa ini salah.
“Konstitusi itu resultante, produk kesepakatan berdasar situasi sosial politik ekonomi dan budaya pada saat dibuat. Mungkin sekarang sudah ada perubahan sosial politik ekonomi dan budaya sehingga perlu berdiskusi lagi untuk mempersoalkan. Saya kira itu bukan wewenang pemerintah. Tetapi akademisi boleh membahas itu, baik dan buruknya, tidak dilarang,” ujar Mahfud.