Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan perempuan pekerja di kawasan pabrik sangat rentan mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual itu, kata Luluk, dimulai dari sejak perempuan membutuhkan pekerjaan, bertemu calo atau agen, hingga ketika berada di tempat kerja karena adanya ketimpangan relasi sosial (atasan-bawahan).
“Kekerasan seksual itu sebagai suatu hal yang tidak main-main. Suatu yang nyata, yang begitu bisa membuat posisi para pekerja garmen pada posisinya yang sangat powerless, marjinal, dan mereka tidak tahu harus melakukan apa, karena di sana ada kepentingan yang harus mereka jaga, mulai dari persoalan ekonomi, keluarga, dan sebagainya,” ujar Luluk saat mengikuti RDPU Baleg DPR RI dengan Aliansi Pekerja/Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang berlangsung secara hybrid, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/8/2021)
Anggota Komisi IV DPR RI tersebut tidak menampik bahwa tidak hanya perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.
Ada juga lelaki yang menerima kekerasan seksual, baik intimidasi (power) yang berasal dari sesama lelaki maupun juga bisa berasal dari perempuan.
Karena itu, dalam dinamika pembahasan RUU PKS, pernah terlintas masukan bahwa pelaku kekerasan tidak boleh dilihat sama dari sisi relasi dengan korban.
Baca Juga
Hal ini berkaitan dengan pemberatan hukuman bagi para pelaku kekerasan yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melindungi orang-orang, baik yang ada di lingkup keluarga atau tempat kerja.
“Kalau misalnya pelaku memiliki hubungan relasi yang sangat dominan terhadap korban, misalnya orangtua melakukan kekerasan seksual terhadap anak, apakah didapatkan pemberatan hukuman? Atau majikan, supervisor, sebagai orang yang seharusnya memberikan perlindungan yang ada di lingkup kerjanya tapi melakukan kekerasan, apakah ini ada mekanisme tertentu yang jadi pemberat?” ujar Luluk.
Dia mengapresiasi hasil riset yang disampaikan oleh APBGATI tersebut kepada Baleg DPR RI. Sebab, dari hasil riset tersebut diketahui bahwa kekerasan seksual tidak mengenal tempat, tidak pilih gender pelaku dan korbannya.
“Sehingga, titik rentan itulah yang harus kita lindungi. Korban adalah korban, pelaku adalah pelaku,” tegas wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Tengah IV ini.