Bisnis.com, JAKARTA – Gencarnya sosialisasi metode pengolahan sampah menjadi refused derived fuel (RDF) dan metode Co-firing di berbagai kota/kabupaten perlu mendapat perhatian yang seksama. Pasalnya, pemaksaan kombinasi bahan bakar RDF dan batubara disinyalir menurunkan produktivitas PLTU akibat adanya penumpukan kerak sisa pembakaran pada tungku pembakaran.
Pengamat dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan saat ini pemerintah termasuk BUMN penyedia listrik akan menggunakan teknologi Co-Firing untuk mengolah sampah. Padahal, menurutnya, jalan tersebut tidak semudah itu. Mengolah sampah menjadi bahan bakar yang berkualitas tidaklah murah. Produktivitas PLTU taruhannya.
Menurut dia, ada kelemahan teknologi Co-firing seperti ada batasan kualitas dan kuantitas yang spesifik agar optimal sebagai bahan bakar PLTU. Kualitas bahan bakar Co-firing yang buruk dapat menurunkan kinerja PLTU, sementara untuk kualitas yang baik harganya akan lebih mahal dari batubara karena membutuhkan investasi peralatan teknologi tinggi.
"Pelajaran mengenai Co-firing ada di banyak negara seperti China, Amerika, Jepang. Setiap negara menakar secara realistis bahwa ada batasan ekonomis dan teknis dari Co-firing," beber dia, Kamis (6/8/2021).
Pembangkit listrik batubara sebagai sasaran penyerapan RDF sudah dirancang dengan tipe bahan bakar yang spesifik yakni batu-bara untuk PLTU. Memasukkan hasil olahan sampah ke dalam ruang bakarnya tentunya memerlukan kriteria khusus, yang artinya membuat sampahnya harus diolah supaya memiliki sifat dan kualitas yang mirip dengan batubara.
Menurutnya, ada sebuah kebingungan narasi dalam ide Co-firing yang kerap menggabungkan berbagai bahan bakar: sampah, biomassa perkebunan, hutan energi, dan bermacam bahan lainnya.
"Meski terlihat menjanjikan, untuk dapat berjalan dengan lebih riil, pemerintah dan PLN harus memiliki target yang lebih terfokus. Khususnya memastikan pasokan dan operasional bisa berjalan pada skala yang memadai dan pengembangan lebih lanjut," kata dia.
Rencana pemerintah untuk memperbanyak Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di perkotaan harus terus didukung oleh semua pihak tanpa memunculkan opini dan opsi- lain yang belum terbukti. Saat ini, teknologi PSEL yang paling pas digunakan untuk pengelolaan sampah perkotaan yang telah darurat sekaligus sebagai usaha mendorong pasukan energi hijau dalam rangka implementasi ekonomi sirkular.
"PSEL dengan teknologi yang ada saat ini seperti yang tengah direncanakan di Tangerang, atau di Surabaya bisa menjadi contoh yang cukup baik. Harus diingat bahwa besarnya biaya investasi dan aktivitas PSEL tersebut harus transparan dan kompetitif, hal tersebut bisa diperoleh dengan membandingkan antara proyek-proyek yang telah dan yang akan berjalan," tambah Putra
Putra menekankan bahwa sampah perkotaan adalah masalah bersama yang harus segera ditangani. Gerakan pengurangan sampah dan pendaurulangan harus terus didukung, namun masyarakat harus juga memahami bahwa penanganan akhir sampah adalah masalah lebih besar yang juga harus diprioritaskan.