Bisnis.com, JAKARTA — Tidak bisa dipungkiri, penolakan masyarakat terhadap pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat makin kencang di sejumlah daerah.
Tidak hanya berteriak-teriak memprotes kebijakan tersebut, sebagian diantaranya tanpa rasa takut melawan petugas atau melakukan aksi anarkistis.
Selain urusan perut yang tak bisa ditoleransi, keberanian masyarakat juga didorong oleh ketidakjelasan yang datang dari para pemangku kebijakan. Di tingkat pusat maupun daerah, kerap kali para pemangku kebijakan melanggar aturan yang mereka tetapkan sendiri.
Belum lagi aturan yang tidak sinkron satu sama lain dan pernyataan pejabat pemerintah yang membingungkan lantaran berubah-ubah atau tidak konsisten.
Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang tiba-tiba menyebut situasi tak terkendali setelah sebelumnya jumawa menyatakan kondisi masih dalam kendali.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan resistansi terhadap PPKM darurat yang muncul belakangan ini merupakan buah dari inkonsistensi pemerintah pusat dalam upaya penanganan pandemi Covid-19.
Pemerintah pusat seperti melepas tanggung jawabnya dalam hal implementasi kebijakan, termasuk PPKM darurat kepada pemerintah daerah yang tidak sepenuhnya siap.
“Pemerintah [pusat] seperti melempar handuk ke [pemerintah] daerah untuk melaksanakan kebijakannya tanpa ada arahan yang jelas dan tidak melihat sejauh mana kemampuan dari pemerintah daerah. Baik dari fasilitas pendukung maupun SDM yang ada. Pemerintah daerah akhirnya menjalankan setengah-setengah karena tidak mampu,” katanya kepada Bisnis, Jumat (16/7/2021).
Petugas memasang stiker himbauan menutup tempat usaha non esensial saat razia di Jalan Doho, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (16/7/2021). Razia di pusat pertokoan tersebut guna memastikan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat berjalan dengan baik guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19. /ANTARA FOTO-Prasetia Fauzani-foc.
Lebih lanjut, menurut Trubus resistensi masyarakat juga muncul lantaran pemerintah daerah tidak bisa sepenuhnya tegas menjalankan aturan yang dimandatkan oleh pemerintah pusat. Hal itu terjadi lantaran pemerintah daerah tidak ingin muncul masalah baru dari masyarakat yang kehidupannya terganggu.
“44 kabupaten dan kota di Jawa-Bali ini tidak semuanya sungguh-sungguh [menerapkan PPKM darurat]. Karena pemerintah daerah ini tidak mau ambil risiko menjadi sasaran kemarahan masyarakat yang resisten. Mereka dilarang-larang tetapi tidak diberikan solusinya,” tuturnya.
Selain itu, adanya pelonggaran bagi sektor esensial dan non-esensial juga ikut mempengaruhi munculnya resistensi masyarakat. Pemerintah daerah kerap kali salah menerjemahkan keduanya yang akhirnya berimbas pada munculnya ketegangan antara petugas di lapangan dan masyarakat.
Adapun, untuk meredam ketidakstabilan sekaligus menekan penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat pemerintah sudah sepatutnya menyiapkan jaring pengaman sosial seperti yang diamanatkan oleh UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Harusnya ada solusi konkret berupa bantuan sosial periodik untuk masyarakat terdampak, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Bukan seperti sekarang hanya melarang-larang tanpa memberikan solusi buat masyarakat. Mereka terus menerus disalahkan. Lama-lama tentunya akan melawan. Apa mau negara ini jadi failed state,” tegasnya.
Kepadatan kendaraan di ruas Tol Jagorawi, Cibubur, Jakarta Timur, Senin (5/7/2021). Meskipun telah diterapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, ruas Tol Jagorawi terpantau padat. /Antara
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan konsistensi kebijakan dari pemerintah pusat sangat penting agar petugas pelaksana di lapangan tidak kebingungan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Salah satu kebijakan yang mencerminkan inkonsistensi dari pemerintah pusat adalah masih dibukanya pintu masuk internasional.
"Indonesia saat ini berada dalam situasi yang sangat serius dalam menghadapi penyebaran Covid-19. Kita melihat bahwa kapasitas pemerintah masih belum memadai jika dibandingkan negara lain yang membuka pintu internasionalnya,” katanya beberapa waktu lalu.
Senada, Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rohadi menilai kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia diperparah oleh pemerintah dengan kebijakannya yang setengah-setengah. Alih-alih mengambil kebijakan radikal yang bisa menekan penyebaran virus, pemerintah justru memilih bermain aman dengan kebijakan populis.
“Karena pengambil kebijakan kita dasarnya adalah politisi. Mereka bukan mengambil kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah, tetapi kebijakan yang disenangi masyarakat walaupun itu tak menyelesaikan masalah. Tentunya agar dipilih kembali,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan pemerintah, baik pusat maupun daerah akan konsisten dalam implementasi kebijakan penanganan Covid-19, khususnya PPKM darurat.
Dia sudah meminta kepala daerah segera menindaklanjuti Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 19 dan 20/2021 dengan jajaran Forkopimda dan pihak-pihak terkait lainnya agar berjalan dengan efektif dan tepat sasaran.