Bisnis.com, JAKARTA - Situasi perkembangan Covid-19 di Indonesia belakangan ini semakin memburuk. Rasanya seperti kembali pada masa awal-awal pandemi pada Maret tahun lalu di mana pertambahan angka pasien cukup fantastis.
Padahal, selama hampir dua tahun pandemi, sudah banyak edukasi yang diberikan, baik melalui akun-akun resmi otoritas yang berwenang maupun praktisi kesehatan.
Apa yang menyebabkan komunikasi risiko yang dilakukan pemerintah belum memberikan efek terhadap perilaku masyarakat? Selama ini, kampanye edukasi Covid-19 di Indonesia menggunakan pendekatan fear appeal terhadap risiko yang akan dihadapi apabila tidak mengindahkan protokol kesehatan.
Masyarakat diberikan informasi mengenai mekanisme penularan Covid-19, risiko yang dihadapi jika tertular dan cara mencegahnya. Akan tetapi, edukasi tersebut belum dapat mengubah perilaku masyarakat, karena masih ada sebagian masyarakat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan meski mengetahui risikonya.
Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, masyarakat Indonesia memiliki budaya komunal, yaitu senang melakukan kegiatan yang melibatkan unsur berkumpul. Sementara, salah satu upaya untuk mencegah penularan Covid-19 adalah dengan menjauhi kerumunan.
Usai Lebaran 2021, kenaikan angka positif dilaporkan sebanyak 112,22 persen. Lebaran merupakan hari raya yang sarat dengan tradisi yang melibatkan acara berkumpul seperti silaturahmi keluarga dan mudik.
Baca Juga
Pada budaya masyarakat komunal semacam itu, tekanan untuk bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok lebih tinggi daripada pada kultur masyarakat individualistik. Tak heran, jika masyarakat tidak mampu menolak ajakan untuk berkumpul walaupun sudah memahami risikonya.
Dalam mengatasi hal ini, desain pesan komunikasi risiko perlu disesuaikan, yaitu menyasar langsung pada pola pikir budaya komunal tersebut. Pesan komunikasi perlu menawarkan alternatif lain berikut dengan risiko jika tetap mengikuti tradisi.
Keterlibatan dari tokoh, seperti pemuka agama dan pemangku adat juga dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa tidak apa-apa jika mereka tidak mengikuti tradisi.
Kedua, secara umum tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan kesehatan masih rendah. Fokus masyarakat lebih banyak pada upaya kuratif (pengobatan), bukan preventif. Padahal, upaya protokol kesehatan terkait Covid-19 mirip dengan upaya preventif, seperti mencuci tangan, memakai masker, meningkatkan imunitas tubuh dan sebagainya.
Kegiatan kampanye dengan pendekatan edukasi tidak dapat menyelesaikan masalah terkait kepatuhan masyarakat. Hal ini karena pendekatan tersebut tidak memberikan dorongan kepada masyarakat untuk berubah, hanya memberikan informasi sebatas tataran kognitif atau pengetahuan.
Sebuah kampanye harus memiliki unsur pendorong atau ajakan untuk berubah. Salah satunya dengan desain pesan yang mampu menyentuh sisi emosional masyarakat. Untuk mencapai efek pada tahap perilaku, pesan harus mampu mencapai tahap afektif.
Selain itu, pesan juga harus diberikan secara repetitif, dalam jangka waktu tertentu. Sementara, pada masa pandemi, kegiatan komunikasi risiko dilakukan secara darurat, sehingga tidak cukup waktu untuk menciptakan perubahan.
Oleh karena itu, faktor ketiga, kegiatan komunikasi risiko tidak dapat berdiri sendiri. Dibutuhkan pengawasan ketat untuk memastikan protokol kesehatan dipatuhi. Aspek penegakan peraturan kerap dikritik dalam penerapan pembatasan sosial. Pasalnya, terjadi banyak pelanggaran yang luput dari pengawasan otoritas.
Kegiatan pembatasan sosial yang selama ini diterapkan dianggap mampu menjadi jalan tengah antara aspek kesehatan dan perekenomian, di mana penekanan penularan dapat dilakukan tetapi masyarakat tetap dapat menjalankan kegiatan ekonomi. Hanya saja, model pembatasan sosial tersebut banyak memberikan ruang kosong untuk pelanggaran.
Data dari BPK Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa sepanjang PSBB pada April 2020—Maret 2021, denda yang berhasil dikumpulkan oleh Pemprov DKI sebesar Rp6 milliar. Akan tetapi, masih ada pelanggaran yang luput dari pengawasan.
Penegakan peraturan perlu dilakukan untuk memastikan protokol kesehatan sudah dipatuhi maksimal dan memberikan efek jera kepada mereka yang melanggar. Selain itu, perlu ada publikasi mengenai pelanggaran yang ditindak untuk menunjukkan akuntabilitas pemerintah dalam menegakkan peraturan.
Penempatan masyarakat sebagai subyek yang mampu bertindak atas kesadaran sendiri pada kegiatan komunikasi risiko Covid-19 merupakan sinyal dari negara yang demokratis. Namun, dengan karakteristik masyarakat Indonesia, pemerintah tidak bisa menyerahkan kendali sepenuhnya pada masyarakat.
Pendekatan yang menyesuaikan dengan kondisi psikologis dan budaya perlu dilakukan. Dengan sinergi antara masyarakat sebagai subyek, dan pemerintah sebagai pemegang otoritas, maka efek dari komunikasi risiko dapat dioptimalkan.