Bisnis.com, JAKARTA- Indonesia dinilai membutuhkan kehadiran undang-undang (UU) Perampasan Aset yang menata mekanisme pelelangan barang hasil kejahatan ekonomi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Yenti Garnasih mengatakan bahwa pelelangan aset yang dinilai berkaitan membutuhkan kehadiran UU Perampasan Aset sebagai payung hukum.
Dia menilai pemangku kebijakan Tanah Air selama ini kurang responsif dengan kejahatan ekonomi yang kerap menjerat tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Kalau melakukan lelang aset hanya berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana atau Kuhap saja, tidak memadai. Terlalu minim jika berpegangan pada Kuhap saja, sementara korupsi ini kan sudah di luar Kuhap. Mestinya sudah punya perangkat sendiri, Kuhap itu kan untuk mencuri biasa, pidana biasa," katanya, Senin (17/5/2021).
Pelelangan aset dengan dasar hukum yang kurang memadai ini dapat dilihat dalam perkara penyitaan serta pelalangan aset yang diduga berkaitan dengan perkara PT Asabri. Menurut Yeti, aset yang masih berstatus hutang dan tidak terkait kasus korupsi seharusnya tidak dipermasalahkan kejaksaan.
"Sepanjang harta tersebut dapat dibuktikan kepemilikannya yang bukan hasil korupsi, hutang pun oke. Tapi kalau terbukti hasil korupsi tetap jadi masalah," kata mantan anggota Pansel KPK itu.
Baca Juga
Adapun, rencana pelelangan aset sitaan Asabri dicetuskan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejagung Ali Mukartono. Menurut dia, mekanisme pelelangan diatur dalam Pasal 45 KUHAP.
"Kan boleh Pasal 45 KUHAP, dengan biaya penyimpanan terlalu tinggi. Kita terbatas biayanya," kata Ali.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono mengemukakan bahwa beberapa aset yang akan dilelang itu antara lain kapal, kendaraan hingga apartemen.
Seluruh aset itu, menurut Ali, membutuhkan biaya perawatan yang sangat tinggi sehingga harus segera dilelang. Bahkan untuk aset sitaan berupa apartemen, kata Ali, tim penyidik Kejagung seringkali ditagih biaya maintenance apartemen tersebut.