Bisnis.com, JAKARTA - Dokter Tirta Hudhi dalam sebuah diskusi di TVOne menyebutkan bahwa pandemi tak ubahnya sebuah lari maraton.
Masalahnya, tidak semua orang memiliki langkah kaki yang sama dalam menjalani maraton pandemi yang tidak kunjung selesai.
Bisa jadi, karena pandemi yang berlangung lama kemudian muncul gejalan bosa dengan Covid-19. Publik mengalami kelelahan pandemi atau pandemic fatigue.
Sikap abai terhadap prokes atau keinginan memaksa mudik bisa jadi bagian dari gejala pandemi fatigue tersebut.
Lantas apa sih yang dimaksud pandemi fatigue tersebut?
Situs kawalcovid19.id menjelaskan kelelahan pandemi atau pandemic fatigue tidak hanya terjadi pada masalah pencegahan pandemi, seperti menjaga jarak fisik, pakai masker, dan mencuci tangan.
Pandemi fatigue bisa terjadi pada semua aspek perubahan perilaku terkait kesehatan, termasuk meningkatkan kegiatan fisik, makan dengan menu sehat dan mengurangi rokok.
"Paling tidak setengah dari yang melakukan ini kembali seperti dulu dalam jangka waktu enam bulan," demikian terttulis di situs kawalcovid19.id yang dipantau Minggu (9/5/2021).
Setelah fase disiplin, publik dihadapkan pada kenyataan masih belum ada obat atau vaksin yang bisa menangani Covid-19 secara cespleng. Angka infeksi terus meningkat.
Kondisi ini menggoda siapa pun untuk menyerah berdisiplin dan menganggap semua hal menakutkan sebagai tidak ada sama sekali. Lantas apa pilihan kita? Terbawa arus pengabaikan atau menguatkan diri kembali untuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan?
Sebuah riset, berdasar informasi yang disadur dari The Conversation,”Sick of Covid-19? Here’s why you might have pandemic fatigue”, menyebutkan beberapa hal berikut:
Mengapa Orang Tidak Lagi Menjalankan Protokol Kesehatan?
Satu penjelasan kenapa orang tidak lagi melakukan protokol pencegahan terletak pada dua faktor dari perilaku kesehatan:
- Tingkat kerawanan yang dipahami. Seberapa mungkin Anda tertular penyakit ini?
- Tingkat keparahan yang dipahami. Kalau anda tertular, akan seberapa parah?
Soal pemahaman kerawanan, situs kawalcovid19 memberi ilustrasi tentang sebaran orang yang terpapar Covid-19. Mungkin hanya ada sebagian kecil di wilayah tertentu atau bahkan tidak ada orang yang dikenal masyarakat. Jadi, walaupun angka nasionalnya tinggi, kondisi di atas bisa mengurangi pemahaman masyarakat tentang tingkat kerawanan Covid-19.
Di sisi lain, masyarakat yang hanya melihat informasi penurunan angka kematian akibat Covid-19, atau metode perawatan yang membaik bisa mengurangi pemahaman masyarakat tentang tingkat keparahan infeksi Covid-19.
"Orang melihat tren seperti ini dan terlena pada kepercayaan bahwa mereka cukup sehat untuk melawan Covid-19 atau merasa bahwa walaupun sakit, pasti akan sembuh. Toh, pikir mereka, pandemi sudah berjalan lebih dari sepuluh bulan, dan saya masih sehat sampai sekarang," demikian tertulis di kawalcovid19.
Perilaku Orang Lain
Norma sosial adalah aturan tidak tertulis mengenai cara berperilaku di masyarakat. Norma sosial bisa dikomunikasikan dengan berbagai cara, salah satu sarananya adalah melalui observasi perilaku. Bagaimana orang lain berperilaku dalam situasi yang sama? Cara ini memberikan petunjuk bagaimana kita harus berperilaku.
Saat pemerintah memutuskan untuk membuka tempat hiburan, restoran, sasana kebugaran, tempat perbelanjaan dan bioskop, kita mungkin melihat ini sebagai sinyal bahwa tempat-tempat ini sudah “aman” untuk dikunjungi.
Begitu juga, saat kita melihat orang bersosialisasi tanpa masker dan tidak melakukan penjagaan jarak, ini terlihat “normal” sehingga mungkin membuat kita lupa melakukan protokol kesehatan. Ini mirip dengan kondisi di mana kelompok pertemanan bisa mempengaruhi konsumsi alkohol dan rokok.
Keinginan Bersosialisasi
Aturan untuk menjaga jarak dinilai telah meningkatkan rasa isolasi sosial dan kesepian bagi beberapa orang, terutama mereka yang berusia lanjut dan yang tinggal sendiri.
Manusia secara alami adalah makhluk sosial, karenanya isolasi sosial bisa menjadi beban. Hal ini bisa berujung pada berbagai masalah kesehatan, termasuk darah tinggi dan kesulitan tidur.
Orang-orang mungkin saja bisa berhenti berkumpul dengan teman-temannya selama beberapa bulan, tetapi untuk melakukannya dalam waktu berkepanjangan akan sulit. Kebanyakan orang akan merasakan dampak buruk karena tidak adanya interaksi sosial dalam waktu lama ini.
"Kunci untuk menjaga kondisi mental adalah menyeimbangkan antara penjagaan jarak fisik dengan koneksi sosial," tegas situs ini.
Tetap Aman dan Waras
Tantangan yang harus dihadapi masyarakat di tengah pandemi saat ini adalah menjaga keamanan sambil tidak menambah beban isolasi sosial.
Menjaga jarak fisik yang aman tidaklah semudah yang dikatakan.
Percakapan virtual melalui video call atau zoom meeting pada periode awal bisa jadi memberikan sensasi mengasyikan. Namun, lama kelamaan orang pun mulai merasa terpasung dengan rutinitas virtual ini.
Pendeknya, kelelahan pandemi bisa terjadi dan menerpa siapa saja. Meski begitu, jika ingin survive atau bertahan dalam maraton menghadapi pandemi, kita tetap harus punya tekad untuk menyentuh garis finis sebagai pemenang.
Salah satunya, bisa dilakukan "pemrograman" di alam bawah sadar bahwa kita harus selalu waspada, aman, waras dan eling bahwa lomba harus dimenangkan..
Memahami berbagai bentuk kelelahan pandemi bisa jadi membantu Anda tetap menjaga kewarasan. Satu hal yang penting dicatat, walau pun lelah dan tergoda putus asa, cobalah terus untuk tetap waras dan jangan kehilangan kecerdasan.
Jadi, kalau masih berpikir untuk memaksa mudik dalam kondisi yang tidak memungkinkan, coba pelan-pelan Anda cek. Jangan-jangan itu semua bermuara pada kebosanan menjalani pandemi dan aturan yang terasa serba menekan.
Jika ternyata demikian, bisa jadi Anda sedang mengalami kelelahan pandemi atau pandemi fatigue. Jika begitu kenyataannya, jangan ragu melakukan konseling, berkonsultasi dengan dokter atau psikiater soal cara mengatasinya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitangandengansabun