Bisnis.com, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampakan sejumlah saran kepada pemerintah terkait pemberangkatan jemaah haji Indonesia di masa pandemi Covid-19.
MUI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum memberangkatkan jemaah haji Indonesia. Salah satu aspek utama yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah saat ini adalah keselamatan jiwa jemaah serta risiko penularan Covid-19.
Hal ini dikemukakan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am saat menyampaikan materi secara daring terkait Istitha’ah Haji di Masa Pandemi dalam Bahtsul Masail Perhajian, di Ciawi, Bogor, Rabu (28/4).
Menurut Ni’am, di masa pandemi, pertimbangan public health perlu menjadi pijakan dalam membuat kebijakan peribadatan.
“Dalam konteks ibadah haji, sekalipun pemerintah Arab saudi membuka haji dan Indonesia mendapatkan porsi namun harus diperhatikan potensi yang menularkan atau tidak. Negara boleh memberikan pembatasan serta meminimalisirkan kontak,” kata Ni'am dikutip dari laman resmi Kemenag, Kamis (29/4/2021).
Pemerintah, lanjut Ni’am, tentu menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbagkan indikator kesehatan dengan ahli yang memiliki kompetensi dan profesionalitas, selanjutnya kredibilitas.
“Kalau seandainya pun Saudi membuka haji untuk Indonesia tetapi menurut pendekatan kesehatan potensi tinggi terhadap penularan dan mutasi virus lebih ganas misalnya, maka kita tidak boleh memaksakan penyelenggaraan haji. Biarkan regulasi istithaah yang diterapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama,” ujarnya.
Ni’am menyampaikan, ada tiga pandangan tafsir terkait istitha’ah. Pertama, pandangan Imam Syafi’y dan dan Ahmad Bin Hanbal yang mengatakan Istithaah hanya menyangkut dalam bidang biaya.
Dalam pandangan ini, orang yang tidak dapat melaksanakan haji sendiri tetapi ia mempunyai biaya untuk melaksanakan haji, maka dianggap sudah memenuhi kriteria istithaah. ”Oleh karena itu ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya,” jelas Ni’am.
Kedua, pandangan Imam malik yang mengatakan bahwa istithaah menyangkut kesehatan badan. Orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan haji sendiri, tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istithaah. Meskipun ia memiliki sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menghajikannya, karena itu dia belum berkewajiban menunaikan haji baik sendiri maupun dengan membiayai orang lain jika tidak sehat.
“Yang ketiga Abu Hanafiah yang menyatakan bahwa istithaah pada dasarnya meliputi dalam bidang biaya dan kesehatan badan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ni'am menerangkan tiga produk MUI yang bisa dijadikan sandaran referensi pelaksanaan haji saat pandemi.
“MUI memiliki 3 tiga produk yang menjadi referensi yaitu: pertama, keputusan ijtima ulama komisi fatwa MUI tahun 2018 tentang istithaah kesehatan haji, kedua fatwa MUI tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram dan terakhir fatwa MUI tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah covid 19,” paparnya.