Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai belum mampu menjalankan sepenuhnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang sudah disahkan sejak 4 tahun lalu.
Selain itu, UU tersebut juga menunjukkan berbagai masalah yang harus segera diatasi agar implementasi peraturan tersebut optimal. Namun, pemerintah lagi-lagi belum menindaklanjutinya secara serius.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay menjelaskan tiga masalah utama pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan yang harus segera dituntaskan, antara lain penyusunan peraturan pelaksanaan yang seharusnya rampung dua tahun sejak UU diundangkan, pengesahan Strategi Kebudayaan yang telah diserahkan kepada presiden sejak 2018, dan pembentukan Dana Perwalian Kebudayaan.
Menurut Hafez, Pasal 60 UU Pemajuan Kebudayaan tela mengamanatkan penyusunan peraturan pelaksanaan tentang 17 hal wajib selesai paling lambat dua tahun sejak peraturan itu diundangkan.
"Sejauh ini, pemerintah hanya menyelesaikan 3 di antaranya, yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan," katanya melalui keterangan resmi yang diterima oleh Bisnis pada Kamis (22/4/2021).
Sesungguhnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peraturan Pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan, yang mengatur 14 hal tersisa, sejak akhir 2018. Namun, hingga kini pemerintah belum menyelesaikan proses harmonisasi naskahnya karena Menteri Keuangan Sri Mulyani tak jua memberikan paraf persetujuan.
Baca Juga
"Sebab, Menteri Keuangan ingin ada ketentuan yang mengatur pencatatan Objek Pemajuan Kebudayaan sebagai Barang Milik Negara. Padahal, ini tidak diatur pendelegasiannya di UU Pemajuan Kebudayaan. Selain itu, masih ada tarik ulur pengaturan insentif bagi kegiatan pemajuan kebudayaan," ungkap Hafez.
Lebih lanjut, Hafez mengungkapkan kewajiban lain yang belum dipenuhi pemerintah adalah penetapan Strategi Kebudayaan 2020-2040. Pasal 13 ayat (6) UU Pemajuan Kebudayaan mengatur strategi tersebut ditetapkan oleh Presiden.
Setelah proses konsolidasi lebih dari 300 Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi serta masukan dari puluhan asosiasi profesi bidang kebudayaan, Strategi Kebudayaan berhasil disusun dan diserahkan kepada Presiden saat Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018.
Namun, jerih payah mereka sia-sia. Hingga saat ini, Presiden belum mengesahkan Strategi Kebudayaan. Akibatnya, naskah Strategi Kebudayaan tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat digunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK).
"Padahal, naskah rancangan RIPK 2020-2040 telah disusun Kemendikbud, namun belum dilanjutkan pembahasannya karena menunggu penetapan Strategi Kebudayaan," tegasnya.
Pembentukan Dana Perwalian Kebudayaan (DPK), amanat Pasal 49 ayat (1) UU Pemajuan Kebudayaan, juga terkatung-katung. Selepas pertemuan dengan para pemangku kepentingan kebudayaan seusai KKI 2018, Presiden menyatakan akan mengalokasikan anggaran Rp5 triliun sebagai modal awal pembentukan DPK. Janji tersebut diutarakan kembali oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin sewaktu tampil pada debat menjelang pemilihan presiden 2019.
Kenyataannya, APBN 2020 cuma mencantumkan Rp1 triliun untuk DPK. Sementara, Dana Abadi Riset dan Dana Abadi Perguruan Tinggi masing-masing mendapatkan Rp5 triliun.
Tahun berikutnya, APBN 2021 hanya mencantumkan Rp2 triliun untuk DPK, masih jauh dari jumlah anggaran yang dijanjikan. Ini pertanda pemerintah belum menganggap kebudayaan cukup penting.
Masalah terkait DPK tak hanya soal modal awal yang dipangkas. Lembaga pengelolanya juga hingga kini pun belum terbentuk. Sejak 2019, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud telah menginisiasi pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) pengelola DPK, namun masih buntu karena belum direstui Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan.
"Berkaca dari ketiga masalah tersebut, dapat disimpulkan akar permasalahan lambannya implementasi UU Pemajuan Kebudayaan adalah sengkarut birokrasi antar kementerian," ujar Hafez.
Selain itu, tingginya ego sektoral dan tarik ulur kepentingan antar-kementerian juga menjadi penghambat. Proses penyusunan peraturan dan pembentukan lembaga dapat tiba-tiba terhenti hanya karena ada silang pendapat antar-pejabat.
"Kesemrawutan ini memperlihatkan selama empat tahun UU Pemajuan Kebudayaan berlaku, Presiden Joko Widodo belum mampu memajukan kebudayaan yang ia sendiri sebut sebagai DNA bangsa Indonesia," tutup Hafez.